:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

ARSIP AKBAR
KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




Terima Kasih

Posted on Friday, May 27, 2005

Hari minggu kemaren tgl 22 May 2005, Bapakku dapat serangan jantung ringan.
Setelah lewat UGD dan masuk ICU, sekarang sudah ada di ruang perawatan intermediate. Nanti kalau sudah mendingan dan tidak terjadi apa-apa, baru bisa pindah ke ruang inap biasa.

Terima kasih doanya ya, semuanya,....

bless you all!!

Labels: ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 2:16 PM | |

<<< === === >>>


KOREA (selatan) - vibrant but cool inside

Posted on Friday, May 13, 2005

Beberapa hari yang lalu, tepatnya dari tanggal 25-30 April 2005, aku berkesempatan mengunjungi Seoul untuk sebuah Training Workshop. Training Workshopnya berjudul: Training Workshop on Home Care for Older People.
Ya,.... Kerjaan kali ini ngurusin masalah orang tua, para veteran, senior, manula, lansia.
(beda yah dengan temanku Reti yang waktu itu juga sempat ke korea tapi dia waktu itu acaranya YouthCamp, ya banyak anak mudanya)
Workshop ini sebenarnya untuk membahas project home care for older people untuk negara-negara ASEAN yang tergabung dalam group-3 yaitu Brunei, Malaysia, SIngapore dan Thailand. Group-1 dan 2 semuanya sudah mulai. Sekarang 4 negara ini lah.

Apa itu home care for older people? Ini bukan panti jompo, tapi sebuah model penyediaan perawatan, bantuan dan pedampingan untuk para lansia berbasiskan rumah. Jadi, dalam model ini mereka orang-orang tua yang sudah sendirian, suka ditinggal keluarganya, tidak pernah dirawat keuarga, akan diberikan pendampingan dan bantuan dari para sukarelawan untuk dikunjungi, dirawat, dibantu segala macam tanpa harus pergi ke panti jompo. tapi dengan tetap tinggal di kediamannya.

Bagus sekali yah. Dan Korea sudah berpengalaman sekali dengan model ini. Dengan jumlah lansia yang cukup banyak di Korea dan banyak pula yang tinggal sendiri, model ini sudah dirintis lama dan sudah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah juga bahkan menjadi bagian hidup dari banyak orang yang perduli dengan lansia ini.

Jadi negara-negara ASEAN ceritanya mau belajar nih dari mereka, dibiayai oleh duit Korea tentunya, dengan organisasi pelaksananya itu adalah the Help Age Korea.

Kita diberi pemaparan tentang apa itu home care for older people, dan dikasi gambaran sejarah pelaksanaannya di Korea sampai sekarang ini. Kita juga sempat diajak home visiting ke beberapa lansia yang menjadi client mereka. Dan juga mewawancarai para volunteer. Menarik sekali. Dan takjub aku. Pertama, takjub karena clients-nya, para manula ini umurnya udah tua-tua sekali, 80an sampe 90-an, ada yang sehat, tapi ada juga yang sudah gak bisa apa-apa. Yang kukunjungi, adalah seorang nenek berumur 92 tahun, tapi dia masih bisa jalan sedikit-sedikit. Masih bisa masak. Masih bisa nyuci2. Masih bisa inget beberapa hal, belom pikun2 amat. Hebat. Apa rahasianya, nek? Kata beliau: "just let it flow" - atau bahasa perancisnya: "pasrah wae atuh, cep,...." Kita-kita bengong. Dan kita pikir, mereka punya life expectancy besar di Korea ini karena selain pola hidup mereka (makan dan bekerja) tapi juga sikap hidup mereka. Gak cuman ginseng yang mereka minum, tapi apa yang ada di hati mereka.
Yang kedua, takjub karena para volunteer yang menjadi pendamping lansia itu ada yang extraordinary, dan sebenarnya juga sudah termasuk manula lo, dan mereka masih keliatan semangat, keliatan muda, dan sudah memulainya dari belasan tahun yang lalu. Wow,... Kita semua jadi malu.

Cambodia, Laos dan Myanmar punya sedikit masalah dengan lansia. Philipines dan Vietnam hampir sama. Yang lumayan lebih kenal dengan home care ini adalah Thailand dan Singapore. Mereka sudah punya kegiatan mirip homecare di negaranya. Brunei dan Malaysia hampir gak ada masalah dengan lansia, karena ikatan keluarga mereka serta nilai-nilai tradisionalnya masih kuat, sehingga gak ada lansia yang terlantar, kalow gak dirawat keluarganya, yah dirawat kerajaannya.

Bagaimana dengan Indonesia. Jelas ada kecenderungan menjadi masalah. Apalagi banyak faktor-faktor yang bakal membuat trend kalow lansia inih banyak bakal yang tertinggal sendirian. Emansipasi wanita, banyak wanita karir yang ketemu dengan pria karir, dan sudah menyingkirkan nilai-nilai kekeluargaan. Ada faktor kemiskinan, yang memaksa orang tua, suami dan istri bekerja, sehingga gak ada waktu lagih buat orangtuanya. Ada faktor migrasi dan urbanisasi, orang meninggalkan tempat tinggalnya (dan orangtuanya tentunya), untuk pindah ke kota, atau jadi TKI ke luar negeri, demi mencari peruntungan hidup. Dan faktor -faktor lain, yang membentuk kultur tradisional kekeluargaan kita lambat laun menghilang dan meninggalkan kesadaran bahwa para lansia butuh diperhatikan juga.

Selain workshop, tentunya kita dapat kesempatan jalan-jalan, tentunya. Tapi kebetulan cuma dua tempat saja yang diarrange oleh panitia untuk dikunjungi. The Secret Garden dan the Cooking NANTA Show.

The secret garden, seperti the forbidden city di Beijing, tapi secret garden ini sebuah taman yang lebih kecil sedikit drpada forbidden city, dan lebih hilly, berbukit-bukit dan banyak pohon2.
Setelah capai menikmati the Secret Garden yang sudah gak secret lagih itu, kita dibawa ke sebuah teaater pertunjukan untuk menyaksikan performance the Cooking NANTA show. Sebuah performance campuran antara, musik, perkusi, teater, akrobat, dan phantomim, with flying knives and foods. Seru banget, dan lucu. A must show. Sudah berkeliling ke berbagai negara katanya.

Selain dua tempat itu, yah kita sendiri yagn harus mau jalan-jalan keliling, liat-liat kota ini.

Bicara soal Korea, aku merefer ke Korea Selatan yah. Walaupun ada wacana reunifikasi dengan korea utara, tapi tetap ajah keliatannya bakal jadi wacana sampai berpuluh-puluh tahun ke depan.

Dan bicara soal Seoul, kota ini seperti jakarta, dengan penduduk lebih dari 10 juta, luasnya lebih kecil dikit daripada jakarta. Tapi gak kalah metropolitannya daripada jakarta. Jakarta kalah.
Gedung-gedung pencakar langitnya lebih mantap dan segar. Yang membedakan juga adalah penataan transportasinya. Kalau di jakarta, jalan-jalan sudah malang melintang dengan banyaknya fly over dan beberapa underpass, tumpang tindih semua, di Korea lain. Seakan space di udara itu keliatan lapang dan lega, tanpa banyak flyover, dan juga tanpa jembatan penyeberangan. Yang ada adalah kesibukan di bawah tanahnya. Dengan subway dan underpass untuk pejalan kaki, jadi tak perlu banyak zebracross dan jembatan penyeberangan. Ruang-ruang bawah tanah ini juga banyak digunakan menjadi komersial area. Setiap sudut, hampir tanpa mubasir kepakai semua untuk tempat orang berdagang, formal maupun informal.
Aku yang dengan noraknya pertama kali keluar untuk jalan-jalan di kota ini, harus bingung, dan mutar-mutar dulu untuk sekedar menyeberang ke seberang jalan. Aku pikir harus cari zebracross untuk nyeberang, tapi kok jauh amat jadinya. Ternyata harus turun ke bawah, ke dalam underpass. Aku pikir tadinya itu terowongan untuk ke terminal subway, ternyata terowongan untuk nyeberang jalan. Dan di bawah itu sudah berjejer toko-toko dan ternyata, jalan2 di bawah tanah yang untuk nyeberang ini juga kadang nyambung ama hotel, sama mall juga. Mantap.

Tapi seperti juga kota jakarta, Seoul juga punya dualisme formal dan informal sector. Ada pedagang kelas department store dan boutique, tapi juga ada banyak pedagang kaki lima. Tapi terlokalisir rapi dalam suatu area. Kalau soal dagangannya, kualitas dan kuantitas pilihan, baru lah kita boleh bangga, mangga dua dan tanah abang jauh lebih top daripada di seoul inih.

Soal keamanan gak bisa dibandingin dengan jakarta. Walaupun katanya ada kehidupan gangster di seoul ini, tapi bakal susah nemuinnya di jalan-jalan. Tidak seperti di jakarta yang punya banyak kawasan waspada karena rawan kejahatan, dan tidak aman di malam hari, di Seoul ini orang bisa tenang-tenang tanpa takut apapun. Aman.

Beberapa hari yang lalu, aku sempat baca sih, kalow pemerintah korea sudah setuju untuk memindahkan Ibukotanya dari Seoul ke sebuah kota nun jauh di sebelah selatannya. Pertimbangan karena sudah padat, dan juga Seoul ini lumayan dekat dengan perbatasan korsel dan korut. Jadi sangat rawan dengan serangan dari utara. Apalagi korut masih ngeyel dengan senjata-senjata jarak jauhnya yang masih pake nuklir.

Sekarang bicara soal orang Korea, gak ada lain selain semangatnya untuk maju dan berusaha. Dilihat dari gayanya saja. Mereka, selalu ingin tampil profesional dan meyakinkan. Mulai dari pekerja muda, pekerja ringan, kasar, pedagang kecil dan pedagang besar, tua dan muda, mereka kebanyakan pakai jas lengkap dengan dasi. Excellent. Baru kali ini aku ke sebuah pasar pagi dan tawar menawar dengan pedagangnya yang berpakaian jas dan dasi, dan naik bis dan taksi dengan supir yang berjas dan berdasi. Mantap.

Yah, begitulah Korea. Beberapa dari kita peserta training itu sempat berpikir untuk pindah ke Korea, menikmati hidupnya dengan bergairah sehingga sampai tua berumur 90an tahun dan masih awet muda, merasakan sendiri rahasia hidup di korea dengan tentram damai dan pasrah.....

Just Let it go and let it flow, kata si ibu tua itu.

Labels: , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 2:33 PM | |

<<< === === >>>


janji pemerintah dan kesadaran sang "penadah"

Posted on Friday, May 06, 2005

Di suatu pagi aku membaca artikel Romo B. Herry-Priyono, seorang romo yang seiring perjalanan telah menjadi filsuf-ekonom yang aku suka artikel-artikelnya. Kali ini, arikelnya tentang sedikit dari semesta permasalahan pendidikan yang rumit di Indonesia. Sedikit tapi buatku penting sekali.

Sering aku melihat berita dan gambar tentang kondisi beberapa sekolah-sekolah di Indonesia yang rusak, hampir roboh, mengenaskan situasi belajarnya. Mulai dari yang ada di pelosok pedalaman kalimantan, dan sumatera, sampai yang ada di tengah ibukota, karena siap digusur, dan yang di pinggiran kota. Dan statistik pun sudah bicara, untuk SD dan SMP lebih dari setengah jumlah kelas di negara kita ini, keadaanya RUSAK.

Berita dan gambar-gambar itu pun akan diselingi dengan ungkapan prihatin beberapa pejabat, mulai dari para pengamat pendidikan, simpatisan politik, dirjen di depdiknas, sampai SBY sendiri yang bilang, menyedihkan krn menyadari negara ini masih tidak bisa menjalankan amanat konstitusinya di bidang pendidikan. Dan simpati-simpati juga disertai janji-janji yang untuk selanjutnya menjadi mentah dan roboh. Janji-janji yang tak berjalan karena berujung pada pengingkaran. Pengingkaran yang disebabkan sebuah pengandaian bahwa pemerintah punya duit segudang untuk mewujudkan janjinya itu.

Janganlah kita terlalu berharap menunggu alokasi dana pendidikan menjadi 20% dari APBN sesuai dengan amanat konstitusi. Karena pendidikan sudah jadi prioritas sekian setelah anggaran untuk perbaikan ekonomi di sektor riil, ekonomi dan bisnis. Dan jangan terlalu berharap dengan upaya pemberantasan korupsi yang menghambat pemanfaatan optimal dana pendidikan yang ada. Dan jangan terlalu berharap dengan perbaikan kurikulum, dan masalah kualitas pendidikan lainnya. Tapi memang harus dimulai dengan sebuah entri. Bangun sekolah yang layak.

Ketika anggaran negara terlalu kering untuk bangun sekolah yang layak, mungkin memang skarang saatnya untuk tak tergantung dengan APBN dan cari alternatip sumber lain.
Bagaimana dengan sumberdaya alam kita? Industri sumber-sumber daya alam itu mungkin bisa dicari kemungkinan kontribusinya dari prosentasi hasil bagi ataupun hasil olahannya.
Tapi yang menarik adalah, kalau kita simak lagi, siapa sih sebenarnya yang menampung produk pendidikan ini? Kita akhirnya harus mengakui bahwa sektor swasta lah yang menikmatinya, dalam bentuk buruhnya, teknisi, dan kaum berdasi dan berhak tinggi-nya. Dan memang sungguh aneh, apabila mereka seperti lepas tangan dalam hal masalah pembangunan pendidikan di negara ini. Bisakah mereka-mereka, perusahaan-perusahaan besar yang hidup di negara ini, yang telah menyedot sebagian besar produk pendidikan negara ini, menyisihkan sekian prosentasi nett profitnya untuk ditaruh dalam pool bersama untuk biaya reparasi pendidikan nasional. Bukan seperti skema beasiswa karena itu sebuah skema manis yang belum "nendang". Tapi kontribusi yang masuk dalam sistemnya itu sendiri.

Bagaimana?
Terlihat seperti disinsentif. Seperti anti-free-trade dan globalisasi. Seperti tambahan beban kepada pajak yang telah dibayar. Tapi bukan itu masalahnya. Ini masalah kewajiban moral, rasa tanggung jawab dan terimakasih. Rasa kepemilikan bersama dan timbal balik. Bukan tambahan beban kepada pajak yang telah dibayar. Bukan beban kalau mau negosiasi. Lantas kita bisa bicara tax amnesti dan deregulasi. Toh selama ini swasta telah menikmati. Sektor bisnis swasta jangan jadi free-riders yang menggemukkan diri. Tapi biaralah anak-anak yang butuh sekolah lah yang jadi free-riders di negara ini.



Reference: "Robohnya Sekolah Kami", Kompas, 7 Mei 2005.

Labels:

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 11:05 AM | |

<<< === === >>>