:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

ARSIP AKBAR
KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




School Bullying dan SMU P.L.

Posted on Wednesday, May 23, 2007

Siapa sih yang tak pernah mengalami 'dikerjain' (being bullied) ketika SD, SMP dan SMA? Saya rasa banyak orang pasti akan mengangguk dan mengakui pernah mengalaminya. Apalagi kalau melihat definisi school bullying seperti berikut ini, wah pasti semua orang pernah mengalaminya:


"Perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut." (menurut Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005), dikutip dari Blog POPsy yang dikelola oleh Andreas P. Prima dalam artikelnya di sini ) "Bullying involves a desire to hurt, hurtful action, a power imbalance, (typically) repetition, an unjust use of power, evident enjoyment by the aggressor and a sense of being oppressed on the part of the victim." (Dr. Ken Rigby, http://www.education.unisa.edu.au/bullying/define.html)

Dan semua definisi itu berbicara soal kekerasan yang bersifat fisik maupun psikis. Seperti yang dikutip dalam artikel di Blog POPsy itu, Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005) yang mengelompokkan jenis-jenis kekerasan itu mulai dari kekerasan fisik langsung, kekerasan verbal, kekerasan non-verbal, dan kekerasan non-verbal yang tidak langsung, sampai pelecehan seksual. Kalau begitu, mau tidak mau saya sendiri selain mengaku mengalami school bullying, tapi juga ternyata pernah melakukan school bullying sadar maupun tidak sadar. Kadang kita tidak bermaksud untuk melukai orang secara fisik ataupun psikis, tapi itu bukan alasan bagi kita untuk mengakui bahwa kita dulu pernah melakukan school bullying.

Membaca sebuah artikel berita koran tadi pagi setelah mengikuti berita sebelumnya soal kekerasan di SMU Pangudi Luhur, membuat saya serba salah. Karena saya sendiri bekas murid di situ. Terkejut juga ketika ada siswa SMA PL yang ternyata mendapat kekerasan sampai digebukin sampai babak belur macam niru-niru IPDN. Perasaan dulu saya memang di-'keme' (istilahnya kami untuk 'ngerjain dan dikerjain') tapi gak pernah sampai mengalami digebukin atau nggebukin anak orang seperti itu. Saya tak tahan untuk senyum meringis, ketika Kompas, mengutip idiom: "anak kelas satu adalah binatang, anak kelas dua adalah manusia, anak kelas dua adalah raja, dan alumni adalah dewa".

Kebudayaan 'keme-mengeme' ini sebenarnya memang sudah tradisi di SMU saya ini, tapi setahu saya sama sekali tidak ada unsur "keinginan untuk melukai", "perilaku yang menyakiti", "repetisi kekerasan", dan "kesewenang-wenangan". Itu feeling saya waktu itu sih. Tapi memang saya gak akan merasa apa-apa bahkan tak akan pernah ada empati, karena saya sendiri bukan korban bullying yang digebukin seperti itu.
Saya ingat sekali masa-masa melewati 1 minggu pertama orientasi, dan 6 bulan masa inisiasi yang lumayan menyiksa di SMU PL, tapi semua itu kok jadi seperti masa yang berkesan. Ya, berkesan, karena tidak berlanjut menjadi korban.

Kalau bicara 1 minggu masa orientasi sekolah yang sebenarnya merupakan bagian pelengkap dari acara penataran P4 warisan orba itu, mungkin bukan sebuah waktu yang cukup untuk menyebut itu school bullying. Waktu itu seperti biasa banyak session-session 'keme' yang memang tidak jelas tujuannya, walaupun maksud dan idenya adalah meningkatkan pengenalan dubia SMA dan membangun kesiapan mental mereka yang akan masuk SMA, tapi memang jadi riskan untuk berkembang, melenceng, dan disalahgunakan, menjadi upaya peningkatan senioritas yang semu berbalut penyalahgunaan kekuasaan yang tidak seimbang. Tapi satu minggu orientasi ini akan berlalu tanpa ada apa-apa kalau anda beruntung, karena akan bisa berlanjut sepulang sekolah.

Yang membuat menarik dalam satu minggu orientasi itu, adalah 'culik-menculik' siswa yang dilakukan oleh alumni untuk dibawa ke sebuah lapangan di daerah Pondok Indah untuk diperkenalkan lebih lanjut tentang apa itu senioritas yang berlanjut sampai alumni. Ketika itu, ketika pulang sekolah, sehabis penataran itu, hati selalu dag dig dug, karena tidak boleh ada jemputan sekolah yang terlalu menyolok di sekitar sekolah. Bagi yang dijemput, memang harus sembunyi-sembunyi dan parkir agak jauh dari sekolah, tapi kalau kurang beruntung ketika sedang berjalan menuju mobil jemputan itu, sudah lebih dulu ada "jemputan dari alumni" yang menghadang, dan perjalanan berlanjut ke daerah di Pondok Indah . Yang naik kendaraan umum, jelas lebih beresiko lagi. Saya sendiri mengalami dag dig dug itu karena harus naik angkutan umum, walaupun pernah juga nebeng teman yang dijemput. Tapi entah kenapa saya beruntung tidak diculik, dan hanya mendengar cerita-cerita dari teman yang dengan hebohnya dan bangganya menceritakan pengalaman diculiknya. Tapi tak pernah ada cerita gebuk-menggebuki. Makanya kadang saya iri dengan mereka. Pengen juga tau rasanya diculik alumni. Ah, mungkin tampang dan penampilan saya terlalu cemen dan tidak menarik untuk dikerjain. Huehehehe.

Masa satu minggu orientasi yang menegangkan itu tak berhenti di akhir minggu. Itu akan berlanjut ke masa enam bulan penuh tekanan yang untuk beberapa orang di kelas 1 bisa menjadi tekanan, tapi juga bisa jadi bukan suatu tekanan, tapi pengalaman berkesan. Bayangkan, selama enam bulan anak kelas 1 tidak boleh ke WC, tidak boleh ke kantin, tidak boleh macam-macam (merokok misalnya), dan harus pake badge OSIS (yang sewaktu-waktu dirazia, siapa yang tidak pake badge OSIS, didenda). Bagaimana kalau lapar? Ya bawa bekal lah. Bagaimana kalau kebelet pipis? Ya tampung di plastik,botol aqua,atau apa kek. Bagaimana kalau kebelet buang air besar? Tahan lah, atau kalau gak tahan, ya.... figure the way out lah, just be creative,..huehehehhee.

Masa enam tahun itu juga diwarnai potensi-potensi mendapat tekanan yang lucu-lucuan tapi juga ada potensi mendapat tekanan yang sama sekali tidak lucu, yang mungkin bisa berakhir di akhir kenaikan ke kelas 2atau sampai kelulusan tanpa kejadian apa-apa, atau bahkan berhenti di tengah jalan karena keburu gak tahan dan keluar dari sekolah.

Tekanan-tekanan yang lucu-lucuan bisa berupa korban permainan yang memang untuk lucu-lucuan ataupun fun, seperti 'membugili' (melucuti pakaian sang korban, bisa jadi karena dia sedang ulang tahun, atau karena korban keisengan ajah), 'dituang' (diangkat badannya untuk digantung terbalik di balkon dengan kaki masih kepegang dan ditahan di pagar balkon oleh anak-anak lain beramai-ramai, tapi badan dan kepala sang korban melambai-lambai menjuntai terbalik), 'spiderman' (badan korban diangkat beramai-ramai dan dirapatkan badannya menghadap ke langit-langit koridor yang kebetulan pendek, sehingga sang korban terpaksa menahannya dengan tangan, dan kemudian diarak keliling koridoor, dan jadilah dia seperti laba-laba yang merayapi langit-langit), dan lain-lain.

Tekanan yang lucu-lucuan ini kadang jadi gak lucu kalau korbannya orangnya itu-itu ajah, dan inisiatornya orangnya itu-itu juga. Dan buat sang korban, mungkin lucu juga kalau cuman sekali kena dikerjain. Tapi, bagaimana tidak stress buat korban kalau tiap hari dia harus cemas karena hampir tiap minggu dia jadi korban dibugilin, atau di kerjain lainnya.

Tekanan lucu-lucuan akan menjadi tidak lucu kalau sudah berulang-ulang untuk korban yang sama, dan korban yang lemah dan tidak melawan, dan dengan pelaku/inisiator itu menikmati sekali ketidak berdayaan sang korban dan bahkan sampai membuat sang korban depresi, apalagi tersakiti secara fisik dan psikis.

Ketika saya di SMU PL, saya tidak melihat ada orang yang menjadi korban tekanan yang tidak lucu seperti di atas. Karena saya dan teman-teman di sekitar saya tidak mengalaminya sendiri, dan juga karena saya memang sepertinya tidak peduli mengamati teman-teman lainnya yang mungkin lemah dan tidak berdaya. Mata saya baru terbuka sedikit ketika mendapat cerita dari teman dekat yang tidak satu kelas, bahwa sebenarnya ada anak-anak yang sebenarnya sudah jadi korban bullying. Salah satunya si N, teman saya, yang sebenarnya saya juga lumayan kenal. Ternyata dia gak tahan mendapat bullying oleh veteran (istilah temen satu kelas dari angkatan berbeda karena tinggal kelas). Tiap hari disuruh ngerjain PR, dibugilin, disambitin pengapus, dll. Pada akhirnya, ia keluar pindah sekolah. Ada lagi teman saya, sebut saja namanya D, yang ternyata tiap hari sudah menjadi korban tetap seorang veteran juga, yang harus sabar dan bertahan dengan rasa cemas, karena sering dibugilin, sering disambit pake jangka, sering disuruh ngerjain tugas, sering diklepto barang-barangnya dengan terang-terangan. Tapi teman saya ini diam saja, dan bertahan sampai dia lulus.

Mereka yang tak berdaya ini, tak bisa melawan dan hanya diam. Ada yang kemudian pindah sekolah, ada juga yang survive bertahan. Entah apa yang terjadi kalau salah satu dari mereka yang tertekan ini kemudian 'meledak' dan membeli senjata api untuk mengamuk membabi buta, seperti mahasiswa asal Korea di Virgina Tech University di USA sana.

Sekarang, saya bukan anak SMA lagi. Sudah sepatutnya saya harus menentang segala bentuk school bullying yang kelewatan, yang tidak lucu-lucuan lagi, apalagi sudah pakai kekerasan.

Kalaupun SMU PL sebenarnya lumayan saya banggakan, tapi kalau sudah kelewatan ya,memang kita harus mengakui kesalahan kita yang membiarkan sebuah bibit potensi kekerasan dalam bentuk school bullying bertumbuh dalam sebuah tradisi yang sebenarnya bisa ditinjau lagi dan diperbaiki.

Saya ingat dulu tahun 1994 (kalau gak salah), ketika SMU PL Masuk RCTI karena ada siswanya yang mengadu polisi karena dikerjain keterlaluan. Dan sekarang, sudah masuk koran KOMPAS. Mau nunggu apa lagi? Harus ada pihak yang berbuat sesuatu. Jangan sampai seperti IPDN lah, walaupun belum ada korban meninggal. Tapi apa harus menunggu ada yang meninggal? IPDN sudah diberi kesempatan, tapi buat banyak orang kesempatannya sudah lewat, maka banyak menuntut IPDN untuk dibubarkan. Sekarang SMU PL, kesempatannya masih ada. Jangan biarkan kesempatan yang masih dimiliki SMU PL untuk memperbaiki diri lenyap.

Dan ini berlaku buat sekolah-sekolah lain, karena school bullying seperti gulma yang kalau dibiarkan, bisa berkembang biak mematikan sistem kehidupan yang dihisapnya.

All I want to say is:
Say no to school bullying, not only for yourself, but for your children in the present and future!
***
Sumber ilustrasi:
1.
http://www.gloucestershire.police.uk/kids_aware/5.html
2.
http://www.foolquest.com/cliquebusters.htm
3. http://www.stopdeafbullying.com/services.html
4. Photo gallery, Friendster SMU PL: http://www.friendster.com/6551495

Labels: ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 3:45 PM | |

<<< === === >>>


gemas dan pening yang terobati

Posted on Thursday, May 03, 2007


Gemas bercampur pening rasanya ketika menjelang perayaan hari pendidikan nasional, saya membaca hingar bingar berita kecurangan yang dilakukan beberapa sekolah di Medan ketika Ujian Nasional, karena ingin sekedar mengejar target kelulusan anak didiknya, tapi mengabaikan etika sama sekali. Kelompok Air Mata Guru yang melaporkan keurangan itu juga mengalami teror dan tekanan setelah mengadu ke Depdiknas. Perih ya, melihat mereka yang sekedar mencoba menjadi guru yang jujur dan berbakti dengan masih punya nurani, tapi mereka diteror dan diancam oleh pihak sekolah yang hanya memikirkan kepentingan sesaat saja.

Tapi gemas dan pening itu sedikit terobati ketika kemaren malam, melihat sebuah acara talkshow yang mengusung tema pendidikan. Obrolan ringan soal pentingnya pendidikan dan masalah-masalah yang masih dihadapi masyarakat dalam mendapatkan pendidika, mengalir dengan lancar. Sampai ketika salah satu bintang tamu acara itu, Rieke Dyah Pitaloka, mengajak seorang guru yang katanya tetangga dia yang berminat datang ke acara talkshow itu. Ternyata guru itu adalah bekas guru sang pembawa acara. Sang guru ini, Pak Riyanto, namanya, ternyata telah diam-diam membiayai sekolah sang pembawa acara ketika sang pembawa acara ini tidak mampu meneruskan lagi sekolahnya karena masalah biaya. Tapi Pak Riyanto tetap memaksa dia untuk tetap sekolah dan ikut ujian sampai akhirnya dia lulus. Mengharukan ya, ada guru yang begitu peduli pada anak didiknya yang tidak mampu dan tetap membantu dia tetap sekolah, sampai lulus. Dan ternyata anak yang diasuhnya itu sudah menjadi besar dan menjadi orang sukes yang fenomenal.

Anak asuh itu yang dulu sangat miskin, sampai harus menunggak uang sekolah 8 bulan, pernah bolos 3 bulan, dan kadang mencuri makan siang teman-temannya karena kelaparan, dan kadang harus bantu orang tua berjualan, akhirnya bertemu lagi sambil berbagi nostalgia dan tawa dengan sang guru yang berjasa ini di acara talkshow yang bernama empat mata yang diasuh oleh si anak asuh itu. Yap, anak itu adalah Tukul Reynaldi Arwana , sang fenomenon (huehehehehhe...). Siapa bilang acara empat mata gak bisa elegan, mendidik, dan bermutu? Makanya don't judge the book from its cover. huehehehhe.

Beruntunglah mereka yang bisa dengan mudah mendapatkan pendidikan. Tapi juga jangan berputus asa bagi mereka yang harus bersusah payah mendapatkan pendidikan di negeri ini. Sementara kita menunggu mereka di atas sana memperbaiki sistem pendidikan kita, menambah anggaran pendidikan, memperbaiki kesejahteraan para guru dan membebaskan biaya sekolah bagi anak-anak negeri ini.

Saya sendiri ada beberapa guru yang saya ingat membantu saya dan keluarga saya dalam proses mendapatkan keringanan biaya sekolah waktu SD, SMP, dan SMA.

Diberkatilah mereka, guru-guru yang masih peduli dan berani membela nurani mereka.

Amin.

Labels: , , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 5:33 PM | |

<<< === === >>>


mayday

Posted on Wednesday, May 02, 2007

Menyambut hari buruh sedunia, kemarin demo simpatik para pekerja (enaknya disebut pekerja ya, daripada disebut buruh) berlangsung dengan damai. Untunglah. Tapi memang perjuangan untuk mereka (juga saya sebagai pekerja juga) harus terus konsisten, kalau tidak akan tenggelam di hiruk pikuk wacana basi lainnya.

Tapi pergumulan antara para pekerja dan employer atau pemberi pekerjaan akan selamanya terus terjadi, karena memang masing-masing punya interest yang berbeda sih. Satu ingin mendapatkan kesejahteraan yang layak. Pihak satunya lagi ingin meminimasi ongkos produksi dengan upah rendah. Susah ketemu. Tapi bukan mustahil. Salah satu mesti berkorban. Tapi apakah harus para pekerja yang berkorban? Apakah harus SELALU MEREKA?

Tadi pagi saya mewakili kantor, diundang oleh Solidaritas Perempuan dalam acara peluncuran sebuah toolkit untuk kampanye dan advokasi publik tentang hak-hak asasi para pekerja migran, yang dibuat oleh CARAM Asia, sebuah NGO yang punya perhatian pada masalah mobilitas pekerja dan AIDS. CARAM Asia ini membuat tool kit ini untuk para membernya di kawasan asia, termasuk Indonesia. Solidaritas Perempuan sebagai salah satu partner CARAM Asia, sepertinya menjadi inisiator di Indonesia untuk memanfaatkan tool kit ini.

Sudah jadi pengetahuan umum kok kalau nasib para pekerja migran kita yang mengadu nasib di negara orang, banyak yang berakhir dengan cerita sedih dan tragis. Jadi seperti barang dagangan yang dikirim ke negeri terbuang.

Hati menjadi miris di saat mendengarkan kesaksian Rohidah yang semula bermaksud hati bekerja di sebuah negeri tujuan resmi di timur tengah sana, malah menjadi seperti komoditas yang bisa diperlakukan seperti barang dagangan saja, dioper negara sini, negara sana, lantas ditampung di tempat penampungan di negara asing tanpa kejelasan dan penyediaan kebutuhan layak. Dan kemudian terdampar di Syria untuk gaji 100 dollar per bulan kerja rodi. Apa yang di dapat? Dua tahun dan dua bulan sia-sia, nyaris diperkosa tiga kali, berbulan bulan di tempat penampungan dengan makan mie satu bungkus per hari, pulang kembali tanpa gaji. Sia-sia.

Tapi masih ada beribu-ribu pekerja dari Indonesia di berbagai belahan dunia. Di Syria sendiri , yang ironisnya bukan negara tujuan resmi yang ditetapkan pemerintah, terdapat 40 ribu tenaga kerja yang dianggap ilegal.

Mereka mengadu nasib. Seperti sebuah kebodohan ketika melihat banyak korban, tapi kok masih banyak yang mau ke sana. Tapi ini mungkin bukan masalah kebodohan. Tapi kenyataan. Kenyataan bahwa untuk beberapa orang, harapan mereka ada di negara-negara seberang, karena harapan mereka hampir sirna di negeri sendiri. Bahkan harapan itu seakan lenyap, ketika negara ini tidak mampu berbuat banyak melindungi hak-hak mereka dan memberdayakan mereka untuk bisa berjuang dan bertahan dalam pilihan yang mereka pilih.

Selamat hari buruh, Indonesia!

Labels:

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 2:10 PM | |

<<< === === >>>