:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

ARSIP AKBAR
KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




melongok ke timur

Posted on Tuesday, September 18, 2007

Kurang dari 3 bulan sejak gabung ke kantor baru ini, sudah diberikan kesempatan mengikuti misi Monitoring dan Evaluasi yang melibatkan AusAID dan UNICEF. Intinya, diberi kesempatan melongok-longok lebih dalam lagi kegiatan proyek kita di NTB ini, ditambah melongok-longok juga proyek UNICEF di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Lantas AusAID ngapain? Yah sekedar melihat-lihat juga sembari belajar untuk pengembangan program barunya di issue yang sama.

Menyenangkan sekali bisa ngeliat ke tingkat yang paling bawah di desa-desa, ke puskesmas, dan rumahsakit. Menarik. Betapa rumitnya sistem kesehatan kita , tapi kalau ada upaya lebih segala sesuatu bukannya tak mungkin, apalagi kalau masyarakat bener-bener diberdayakan.

Di NTB, di mana menjadi salah satu penyumbang angka kematian ibu dan anak nasional, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota sepertinya sedang mau berubah, mereformasi sistem perencanaan, penganggaran dan sistem manajemen pembangunan kesehatannya, mulai di tingkat pemerintahan provinsi, Pemda Kabupaten/Kota, rumah sakit, tingkat puskesmas (termasuk pustu alias puskesmas pembantu). Memang itu syarat dasarnya sepertinya.

Tapi, sekali lagi keberadaan pemerintah itu kadang seperti siluman, antara ada dan tiada, ketika masyarakatnya membutuhkan, apalagi kalau alasannya sudah menjadi "dana dan sumber daya manusia terbatas". Maka memang mau tak mau masyarakat itu sendiri yang mengembangkan modal sosialnya.

Modal sosial masyarakat di desa sebenarnya bukannya tidak ada sama sekali. Coba saja liat ketika ada warga desa yang meninggal atau menikahkan anaknya. Masih banyak warga datang membantu. Tapi entah mengapa kita jadi lupa untuk saling bantu-membantu ketika ada seorang tetangga kesulitan mendapatkan transportasi untuk ke puskesmas, bidan, atau rumah sakit ketika akan melahirkan bayi. Sungguh seperti ironi, ketika masayarakat masih mau membantu ketika ada yang meninggal atau ketika ada yang berpesta menikahkan anaknya, tapi masih sungkan dan ragu dan segan dan tak mau untuk meminta dan memberikan bantuan ketika ada seorang ibu yang akan melahirkan.

Menggali modal sosial dengan pendekatan konsep desa yang siaga untuk antar jaga persalinan (biar tidak rancu dengan konsep desa siaga baru yang dikembangkan lagi lebih jauh oleh Menkes) sepertinya menjadi satu cara yang paling efektif memberdayakan masyarakat.


UNICEF Melakukan hal yang nyaris sama, di provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Di Sulawesi Selatan, saya mengunjungi salah satu pilot area mereka di Takalar dan di Sulawesi Barat, saya mengunjungi Polewali.

Di dua tempat tersebut sudah mulai diperkenalkan sebuah model strategic planning yang para ahlinya menyebutnya DTPS - District Team Problem Solving, yang awalnya khusus untuk program kesehatan ibu dan anak. Model ini berangkat dari penstrukturan masalah, penetapan prioritas dan pengaitan dengan anggaran. Satu pencilan tambahan ketika menemukan salah satu kecamatan di polewali melakukan mapping kemiskinan warganya dengan menggunakan kriteria dan definisi kemiskinan yang digali dari masyarakatnya sendiri.

Pengalaman di Takalar dan di Polewali seperti merasakan denyut kehidupan masyarakat di daerah yang terasa redup tapi menyentak-nyentak indera, paling tidak menyadarkan bahwa mereka sebenarnya berhak mendapat yang terbaik dari negara, tak hanya jadi obyek penderita yang membuat mereka seperti pengemis bantuan, tapi mereka sebenarnya memang patut dibantu tanpa membuat mereka seperti tak berdaya sama sekali.

Buat saya, di tengah keseharian berkutat di jakarta yang panas dingin sekaligus menyesakkan, Polewali dan Takalar dan juga desa-desa di NTB seperti es kelapa muda yang begitu muda sehingga dagingnya seperti ingus tapi menyegarkan, apalagi di tengah bulan puasa ini.

Labels: , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 7:46 PM | |

<<< === === >>>