:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

ARSIP AKBAR
KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




Simbol Perlawanan?

Posted on Friday, April 25, 2008

Suatu hari saya iseng ambil majalah the Economist (saya lupa edisi kapan ya), yang ditaruh di rak baca kantor. Sepertinya ditinggal oleh salah satu bos di kantor saya. Waktu itu, saya pikir lumayan buat bahan bacaan menemani perjalanan dalam kereta Sudirman Ekspress jurusan Sudirman-Serpong (ya, saya beberapa bulan ini mulai jadi penglaju menggunakan kereta antar kota).

Ada satu artikel di dalamnya yang menarik sekali buat saya. Cerita tentang pembangunan di China yang benar-benar bergairah. Terutama pembangunan di bidang properti di berbagai pelosok kota-kota di China. Saking bergairahnya, kadang sampai lupa menyadari bahwa pembangunan tidak berlangsung dalam ruang vakum. Di dalam ruang pembangunan kota ada ada makhluk bernama penduduk. Dan mereka kadang tidak seperti binatang di hutan perawan yang bisa diusir keluar hutan dengan cara membunyikan klakson dari sebuah mesin eskavator.

Liat gambar ini dalam artikel tersebut .

Source: www.asiasentinel.com

Sebuah rumah milik sepasang suami istri, Yang Wu dan Wu Ping, di sebuah area komersial di Chongqing, Jiulngpo District, China. Rumah yang menyembul tepat di tengah-tengah lubang besar galian konstruksi yang akan dibangun sebuah pusat perbelanjaan. Menakjubkan ya. Orang-orang menyebutnya "nail house", mungkin karena seperti paku yang sudah tertancap dan tidak mudah di cabut. Jadi , developer ini sedang menghadapi sebuah paku yang sangat mengganggu.


Source: www.somewhere-in-the-internet-i-forgot.com

Suami-istri tersebut bertahan dengan rumah mereka tersebut selama dua tahun terisolasi, tanpa akses jalan, listrik, dan air, untuk melawan sebuah ketidakadilan, ketika mereka merasa berhak untuk mendapatkan kompensasi yang layak: Lahan pengganti dengan luas yang sama dan di area yang sama (tidak jauh dari situ).

Namun, pada akhirnya pada bulan april 2007, bangunan tersebut pun berhasil dirubuhkan juga, setelah ada kesepakatan. Tapi gambar tesebut di atas akan tetap dikenang sebagai simbol perlawanan terhadap perlakuan semena-mena dan tidak adil menangkut hak memiliki properti seorang warga negara.

Source: www.chinadaily.com.cn

Gambar yang hampir sama dengan cerita yang berbeda ternyata juga ada di Indonesia, tepatnya di pinggiran timur kota Jakarta, yang sedang digasruk-gasruk oleh proyek Banjir Kanal Timur (BKT). Sebuah rumah yang dimiliki oleh keluarga Ibu Ernawati terperangkap di tengah-tengah galian proyek BKT, seperti sebuah pulau terisolasi. Mereka harus melewati tanah-tanah galian, yang tentunya becek (karena hutchan, gak ada otchek... betchek... begitu analisa dari Cinta Laura Kiehl, hehehe) untuk keluar rumah.


Kompas/M Clara Wresti / Kompas Images
(Kompas,Rabu, 23 April 2008)


Gambar di atas hampir sama dengan "Nail House" di China. Tapi cerita yang ada, berbeda. Rumah yang menyembul menunggu roboh karena tanahnya bisa longsor terkikis hujan tersebut dilatar belakangi adanya masalah pergantian ganti rugi karena tanah tersebut masih dalam sengketa, karena ada pihak ketiga yang mengakui tanah tersebut milik mereka, sehingga panita pembayar ganti rugi dari pemerintah masih menunggu verifikasi keputusan kepada siapa mereka harus membayar ganti rugi. Jadi gantung, deh.

Beberapa waktu lampau majalah TEMPO memuat "cerita-cerita seru" permasalahan proyek BKT seputar pembebasan tanah, dan pembayaran ganti rugi tanah yang amburadul karena ulah spekulan yang mempermainkan harga, oknum yang gemar mark-up harga tanah, oknum pemerintah yang mengutak-atik sertifikasi/pencatatan dan pengukuran tanah, dan lain-lain sehingga menyebabkan membengkaknya anggaran proyek ini sehingga masih jauh dari separuh jalan.

Jadi, kalau menurut saya, gambar tersebut yang muncul di koran Kompas kemarin tersebut, mungkin bukan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan perlakuan semena-mena pemerintah daerah terhadap pengakuan hak milik properti masyarakat, tapi rupanya merupakan simbol ketidak berdayaan pemerintah daerah melawan pasar yang terdistorsi oleh oknum yang korup (spekulan dan aparat) serta ketidak berdayaan pemerintah daerah membangun daerahnya karena perilaku korupsi, mismanajemen dan perencanaan yang lemah.

Kalau cerita "nail house" di China sudah berakhir bersamaan dengan robohnya bangunan tersebut. Cerita rumah Ibu Ernawati mungkin akan berakhir berbeda, namun dengan slow-ending yang kurang dramatis, karena bisa saja sengketa berlanjut ke pengadilan dan ditentukan di sana. Dan lantas pemda tinggal bayar ganti rugi saja. Beres.

Justru akhir cerita soal proyek BKT inilah yang ditunggu-tunggu orang banyak, sambil mulut menguap karena jemu menunggu akhirnya, namun saya yakin endingnya akan sangat-sangat dramatis. Entah akan menjadi sebuah monumen kegagalan proyek pemda (seperti tiang pancang monorel yang melapuk dan karatan) dengan lubang-lubang galian menganga yang akan suatu hari jadi rawa,..... atau akan menjadi sebuah proyek gemilang dan patut di kenang dalam mengatasi banjir tahunan yang rajin menerjang di kawasan timur Jakarta.

Kita liat saja akhirnya bersama-sama ya.

Labels: , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 10:42 AM | |

<<< === === >>>


Maaf

Posted on Wednesday, April 23, 2008

Membaca tulisan di bawah ini, saya jadi miris,.... semiris-mirisnya,....
Tiba-tiba kok saya merasa sesak tinggal di negara ini.....
Sebentar,.... biar kucari udara segar dulu, di pojokan sana.....
----------------------------------------------------------------------------------------

Koran Tempo, Selasa, 22 April 2008

Mohon Maaf, Ahmadiyah

Masykurudin Hafidz,
Mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami memasukkan keyakinan dan keberadaan Anda sebagai persoalan besar yang mengancam negeri ini. Daripada kemiskinan, kelaparan, kenaikan harga bahan pokok, serta biaya pendidikan yang makin mahal, kami lebih suka memilih Anda sebagai sasaran pekerjaan. Keseriusan kami semata-mata karena ini menyangkut keyakinan; sesuatu yang sangat prinsipil bagi setiap umat manusia.

Bertahun-tahun kami dikondisikan untuk selalu curiga terhadap lain keyakinan. Ibarat musuh dalam selimut, ia lebih berbahaya karena bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Kami tidak terbiasa untuk terbuka dan mempelajari dengan serius sistem keyakinan lain tanpa harus takut terpengaruh karenanya. Sebagai mayoritas, justru yang kami lakukan adalah membuat Anda merasa tidak aman, tidak nyaman dan tidak bebas menjalankan ibadah serta kegiatan
sehari-hari.

Memangnya kenapa kalau kebebasan Anda untuk beribadah kami ambil alih? Kamiini sangat sensitif terhadap agama di luar agama resmi sehingga selalu berusaha untuk melarang dan menutup tempat ibadah Anda. Kami merasa berhak untuk menentukan status keyakinan Anda. Apa yang kami hakimi sebagai sesat, itu berarti kami boleh menghilangkan hak sebagai warga dalam mendapatkan perlindungan di negeri ini.Kami menutup mata terhadap sumbangan Anda kepada kemanusiaan (humanity first). Jaringan yang sangat luas tersebar di belahan bumi membuat Anda mampu menyalurkan bantuan terhadap kemiskinan, pendidikan, dan korbanbencana.

Di Indonesia, jumlah anggota organisasi Anda yang hanya lima ratus ribu sanggup mengumpulkan puluhan miliar setiap tahun. Anda juga punya televisi yang berpusat di Inggris sehingga dunia dapat melihat bahwa Indonesia adalah negeri yang damai, terbuka dan kondusif untuk investasi. Tetapi inilah kami. Kesepakatan kita bahwa di negara ini tidak ada yang boleh didiskriminasi tiba-tiba kami ingkari. Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak lagi kami jadikan sabuk pengaman bagi integrasi bangsa. Negara sebagai penjamin atas hak-hak bagi setiap warga, termasuk Anda, lalai dan sengaja membiarkan saatAnda menjadi sasaran kesewenang-wenangan .

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami tidak bisa menerima perbedaan. Kami tidak menganut pluralisme karena paham itu datang dari luar. Kami punya keyakinan sendiri yang sesuai dengan ajaran kami. Kami bisa melakukan larangan dan melakukan tindakan kekerasan jika tidak sesuai dengan keyakinan kami. Tuhan pasti berada di pihak kami karena kami yang paling benar. Kami adalah khalifah Tuhan yang diperintah untuk meluruskan keyakinan Anda. Tidak bisa kami menghentikan perhatian terhadap masalah perbedaan keyakinankarena hal itu menjadi faktor yang membuat bangsa ini dalam bahaya. Kami lupa bahwa negeri ini adalah salah satu negeri paling plural di dunia sehingga kesatuan akan tumbuh jika masing-masing keyakinan dihormati.

Persatuan Indonesia yang menuntut bahwa setiap orang berhak beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, entah itu sesuai atau tidak dengan keyakinan yang lain, tiba-tiba kami singkirkan.Itulah kenapa kami menyerang masjid-masjid tempat Anda beribadah. Padahal ajaran kami mengatakan, kami tidak boleh menyakiti orang lain tanpa alasan apa pun. Tidak boleh menyerang orang lain kecuali sekadar mempertahankan diri. Bahkan ketika orang lain menyerang kami tiba-tiba meminta perlindungan, wajib hukumnya bagi kami untuk melindunginya. Perlindungan terhadap orang lain tanpa memandang keyakinan sering kali kami temui dalam ajaran kami.

Kami masih ingat saat Rasulullah Muhammad menerima para tamu yang datang dari kelompok yang berkeyakinan lain di masjid Madinah. Saat rombongan tersebut meminta izin keluar untuk melakukan kebaktian justru Rasulullah mempersilakan untuk beribadah di Masjid Nabawi. Masjid justru digunakan untuk menerima dan membangun toleransi antar agama. Bahkan dengan sangat tegas Rasulullah menjamin jiwa, harta, dan agama para penganut keyakinan di luar keyakinannya. Ia mendeklarasikan Piagam Madinah sebagai undang-undang bersama untuk hidup berdampingan secara damai dan toleran. Kami tahu, di dalam piagam tersebut dijelaskan bahwa masyarakat yang hidup di Madinah saat itu, yaitu Islam, Yahudi, dan Kristen, disebut sebagai satu umat (ummatan wahidah). Isi piagam tersebut juga memuat untuk mengemban tanggung jawab yang sama dalam menghadapi tantangan dari luar. Tidak boleh ada diskriminasi, siapa pun yang berada di Madinah harus dilindungi serta tidak boleh ada yang terluka, apa pun keyakinannya, bagaimanapun latar belakangnya.

Di negeri tercinta ini, kami juga mengerti bahwa Undang-Undang Dasar 1945 kita menegaskan bahwa jaminan konstitusional tentang hak untuk hidup, untuk tidak disiksa, untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, untuk beragama,untuk tidak diperbudak, dan untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Demikian pula, kami tahu bahwa bangsa ini telah menjadi bagian dari masyarakat internasional yang meratifikasi Deklarasi Universal Hak AsasiManusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Bahkan bangsa ini juga sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Kedua ketentuan tersebut menegaskan jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Namun, ajaran dan teladan Rasulullah begitu jauh dari kami. Tidak perlu ada kesesuaian ajaran dan undang-undang dengan tindakan sehari-hari. Juga kesepakatan kita dalam menjalankan roda kehidupan bangsa ini tiba-tiba seperti angin lalu. Tugas kami sebagai pengayom seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi kami abaikan. Kami diam saja, bahkan ikut menyuburkan praktek diskriminasi dan penafian atas hak-hak kebebasan berkeyakinan. Padahal, itu hak paling asasi yang dianugerahkan Tuhan. Semangat kebangsaan kami memang sedang defisit. Kami gampang terpengaruh oleh isu-isu murahan dan sentimental.

Mohon maaf, Ahmadiyah. Kami tidak mampu melindungi Anda. Kami tidak bisa menjamin jika suatu saat rumah atau masjid Anda akan diserang.

Sekali lagi,mohon maaf.

***

Labels:

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 8:22 AM | |

<<< === === >>>


panggilan

Posted on Friday, April 18, 2008

Sabtu sore mendadak ada panggilan telepon dari rumah di Meruya, ada berita duka dari Gunung Kidul. Pakde Narto, seorang saudara dekat dari keluarga (alm.) Bapak, dipanggil Tuhan. Mamak pun meminta ditemani pergi pulang ke kampung untuk melayat.

Setiba kami di kampung di Minggu pagi, sebelum melayat, kami sempatkan dulu pergi ke sebuah misa di gereja katholik Santo Yusuf, Bandung, Wonosari. Dan ternyata kebetulan di sela-sela acara liturgi, ternyata ada acara promosi panggilan menjadi imam. Ada 2 orang frater dan 1 orang suster, berbagi cerita tentang panggilan mereka menjadi calon imam dan pelayan Tuhan. Sebelum mereka bercerita kisah perjalanan mereka yang membawa mereka pada keputusan untuk menjadi calon imam dan pelayan Tuhan, Pastur yang sedang memimpin misa bercerita bahwa dengan bertumbuhnya jemaat, permintaan akan imam dan pelayan Tuhan semakin bertambah, namun di sisi lain suplai berkurang. Seperti yang dialami Seminari Mertoyudan, yang semakin menurun jumlah peminat yang mendaftar, yang katanya mungkin bisa terancam jadi Sekolah SMU pada umumnya. Dan kecenderungan ini bisa membahayakan ketersediaan imam dan pelayan gereja.

Kemaren saya juga menemukan blog-nya Romo M.Hadisiwoyo yang mengasuh Seminari Mertoyudan di sini, dan saya pun mencoba mencari konfirmasi dari beliau. Begini jawaban beliau:

Kiranya tidak hanya Seminari Mertoyudan, tetapi juga seluruh ordo dan kongregasi suster/bruder mengalami krisis panggilan. Maka sekarang ini memang sedang digalakkan promosi panggilan di mana-mana, termasuk Seminari Mertoyudan.

Perlu kami informasikan, Seminari akan tetap sebagai pendidikan bagi calon-calon imam. Memang pernah ada wacana Seminari dibuka juga untuk mereka yang tidak ingin menjadi imam, tapi punya potensi untuk menjadi rasul awam yang tangguh. Tapi basisnya, Seminari tetap menjadi tempat pendidikan bagi calon-calon imam. Idenya, Seminari menjadi tempat pendidikan bagi calon imam dan calon awam. Hanya ide ini belum berkembang. Karena sekarang Seminari masih tetap seperti dulu.

Pendaftar masuk Seminari tahun ini, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun lalu. Yang mendaftar dari SMP ada 134, ikut tes 124, lolos tes akademik dan wawancara 72 calon; dari SMA/SMK, pendaftar ada 23, ikut tes 2o, lolos tes akademiki dan wawancara 5 calon. Demikian sedikit info yang dapat saya sampaikan !

Saya kemudian jadi teringat gambar di bawah ini, yang judulnya "The Descent of the Modernists", by E. J. Pace, pertama kali muncul dalam bukunya, Christian Cartoons, diterbitkan tahun 1922. Gambar kartun ini saya temukan dalam buku "The Day the Universe Change" karya James Burke, dan saya scan deh (Kebetulan copyright gambar ini public domain, liat ajah di sini). Kalau kata si James Burke ini, kartun ini sebagai gambaran perubahan dunia (khususnya dunia kekristenan) ketika muncul teori Dawin (sebagai lambang modernitas saat itu) yang begitu cepat merebak dan mengguncang dunia, saat itu. Liat gambar 3 figur yang menuruni tangga itu: seorang pelajar muda, seorang pengkotbah, dan seorang professor/scientist, yang mungkin menggambarkan kemungkinan resiko kelompok tersebut menuruni tangga menuju atheism.



Ya, modernitas (dan juga post-modernitas) telah menggubah dunia dan membawa kita ke dalam dunia seperti sekarang ini, dengan kemajuan pemikiran, teknologi, sains dan budaya. Juga perubahan lambat atau cepat dalam kekristenan. Termasuk mempengaruhi jumlah mereka yang berminat menjadi imam dan pelayan Tuhan. Mungkin para modernist melihat bahwa semakin banyak orang yang merasa bisa mendapatkan kebutuhan personalnya dengan tidak membutuhkan seorang imam. Atau mungkin pemikiran saya ini ngawur.

Tapi kalau boleh saya tanya, kamu ada di tangga yang mana dalam gambar itu? Jawabannya, boleh dibagikan di sini atau disimpan dalam hati juga gak papa, karena sekarang ada Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang ternyata berkewenangan bisa melabeli kamu sesat, yang barusan saja kemarin menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah itu sesat sesesat-sesatnya, dan harus bubar. Kasihan ya, para jemaat Ahmadiyah. Karena bisa saja keputusan seperti ini nanti disalahgunakan mereka yang radikal untuk mempersekusi mereka, memburu mereka, menghancukan tempat ibadah dan tempat tinggal mereka. Mungkin Ahmadiyah itu dikhawatirkan sebagian orang akan merusak nama Islam, ya. Namun, bukankah Islam terlalu besar dan agung untuk dirusak oleh apapun juga di dunia ini?

Mudah-mudahan Bakorpakem (nama badan yang lucu ya, tapi pas) tidak melakukan hal yang sama kepada Saksi Yehova, atau aliran-aliran laindalam Kristen yang sering orang kristen cap sebagai yang sesat. Mudah-mudahan KWI dan PGI tidak ikut-ikutan , dan tidak merekomendasikan hal yang sama terhadap alian-aliran lain dalam kristen. Kalau kita percaya dengan kekristenan kita, kenapa pula kita khawatir Saksi Yehova akan merusak dan menguncang kekristenan kita? Kebetulan (Alm.) Pakde Narto adalah anggota Jemaat Saksi Yehova, dan saya merasa, seru juga punya saudara yang jadi anggota Saksi Yehova yang dihormati saudara-saudara seiman mereka. Merasa seru karena indah punya keragaman iman dalam sebuah keluarga besar.

Kemudian, apa tidak ada hak asasi untuk sesat ataupun untuk tidak sesat, ya? Bukankah menjawab panggilan untuk sesat dan tidak sesat, adalah hak dan pilihan hidup. Menurut saya sih, biarlah kita menanggapi panggilan kita masing-masing dengan percaya bahwa Dia yang mengaturnya dengan baik, dalam skenario dia yang baik adanya pula. Lalu kenapa kita harus resah dengan panggilan kita dan panggilan orang lain untuk berada di jalanNya ataupun di luar jalanNya, berdasarkan masing-masing perspektif dan sumsi yang beragam terhadap "jalanNya" tersebut.

Labels:

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 3:47 PM | |

<<< === === >>>