:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

ARSIP AKBAR
KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




Jakarta = New York?

Posted on Monday, July 28, 2008

Bagaimana kalau saya bilang: "In reality, Jakarta is going to be a New York for ASEAN."

Mungkin anda akan segera menyahut setengah berteriak: "Mimpi kaleeee....", sambil melempar saya dengan kulit kacang, sedangkan kacangnya sendiri dimasukkan ke mulut.

Tapi begitulah kata Surin Pitsuwan, Sekretaris Jenderal ASEAN yang baru bertugas awal tahun 2008 ini, waktu diwawancarai oleh the Jakarta Post, Kamis (24/07/2008) - reference. Jangan salahkan beliau, karena mungkin His Excellency Surin sepertinya belum kenal baik Jakarta apalagi dengan para pengurus Jakarta ini. Dan mungkin maksud pernyataan tersebut hanya menegaskan pentingnya fungsi Jakarta sebagai tuan rumah bagi ASEAN Secretariat, yang adalah alat penggerak organisasi 10 negara tersebut, yang sedang berbahagia menyongsong Piagam ASEAN yang ditargetkan pada tahun ini bisa diratifikasi oleh seluruh negara anggota, yang diharapkan dapat menambah tenaga dorong bagi pergerakan ASEAN sendiri sebagai organisasi yang sangat berpengaruh untuk membentuk kawasan yang menyaingi EU. Beliau pikir, dengan demikian bertambah seksinya ASEAN, maka semakin banyak entitas luar yang ingin bersentuhan dan bergandengan dengan ASEAN, dan berhubung ASEAN Secretariat itu bertempat di Jakarta, maka Jakarta terkena imbas keseksian ASEAN tersebut. Jadi, ketika beliau bilang seperti itu, mungkin dia punya visi Jakarta akan jadi seperti New York yang jadi pusat kegiatan PBB, atau seperti Brussel yang jadi markas EU, atau seperti Geneva yang merupakan tempat berkumpulnya lembaga-lembaga internasional. Betapa indah dan agungnya visi itu.

Namun sayang, saya rasa, visi tersebut jauh dari visi yang dimiliki oleh para pengurus Jakarta. Abang Kumis Fauzi Bowo mungkin juga tak berniat, tak berangan-angan dan tak berdaya untuk memiliki visi seperti itu. Jadi, wajar saja warga Jakarta, atau warga yang hidup dari kota Jakarta akan merasa gemas. Lihat saja tulisan seorang bernama Andre Vltchek yang gemas dengan Jakarta: di sini. Sepertinya kok kota-kota lain seperti Bangkok, Singapore, dan Kuala Lumpur lah yang berhak menyandang New York-nya ASEAN. Seperti Bangkok, misalnya, banyak Organisasi Internasional membuka kantor representasi untuk kawasan Asia dan Pasifik di kota itu.

Namun yang lucu, sebagai paradoks, sementara Jakarta sudah begitu parahnyamenurut si Andre Vltchek itu, hingga patut disamakan dengan kota-kota di negara-negara miskin di benua Afrika sana, namun Jakarta tercatat sebagai kota kedua di kawasan Asia Tenggara (setelah Singapore) dengan biaya hidup termahal bagi ekspatriat. Begitu menurut hasil survey Mercer Human Resource Consulting. Kok bisa yah, dengan keadaan Jakarta seperti ini, namun ternyata cost of living-nya bagi pekerja ekspatriat mengalahkan Kuala Lumpur dan Bangkok, dan posisi ini ternyata tak tergoyahkan sejak 2002.

Mungkin karena di Jakarta ini, yang cenderung seperti kampung modern yang megah, ada dualisme sisi kehidupan yang mencolok mata. Yang tak berdaya dan yang sangat berada. Sementara ada pengemis dan penjaja koran dan gorengan di pinggir jalan, kita bisa juga melihat karyawan/karyawati dengan pakaian necis, bersih, rapi dan wangi berlenggang ke tempat kerjanya sambil menenteng handphone keluaran terbaru. Sementara ada bis metromini dan kopaja yang dekil berkarat dan setia mengepulkan asap hitam dari knalpotnya, kita pun bisa melihat seliweran mobil gres keluaran terbaru. Sementara ada barisan rumah-rumah bobrok nan kumuh di pinggiran sungai, bantaran rel kereta api dan kantong permukiman kumuh, maka kita juga bisa liat apartemen, town-house, dan beragam komplek perumahan mewah. Sementara pasar tradisional penuh sesak namun sumpek, becek dan kotor tak teratur, kita juga akan menemukan taburan mall, hypermart, shopping area, dan berbagai tempat hiburan. Dan karena para ekspatriat itu hanya punya dua pilihan, antara yang buluk dengan yang luks, maka tentunya yang terkahir itu yang menjadi pilihan dengan harga yang cukup mahal. Dan kebetulan Jakarta punya segalanya yang terbaik, terbagus, dan termewah untuk dinikmati para ekspatriat.

Jadi sebenarnya kalau diliat dari sisi cost of living for expatriate itu, bisa saja ya kita menganggap patut lah Jakarta disamakan dengan New York. Jakarta sebenarnya mampu memberikan layanan dan barang kelas satu bagi para ekspatriat. Dan mungkin semua layanan dan barang kelas satu sudah cukup membuat para ekspatriat itu layak untuk tinggal. Toh, macet dan polusi jadi tak terasa. Mungkin mereka juga tak butuh taman hijau banyak-banyak, cukup sudah dengan taman-taman di daerah Menteng dan kawasan elit lainnya. Mereka juga tak terganggu oleh pengemis dan gelandangan, toh mobil berkaca lapis hitam nyaris pekat dan bahkan kadang dengan korden. Mereka tak terganggu dengan sungai ciliwung yang mengkeruh serta deretan rumah-rumah bobrok nan mengenaskan di bantaran sungai dan rel kereta api, karena toh view apartemen sudah diarahkan untuk tidak melihat ke daerah seperti itu.

Untuk semua itu, mereka harus bayar mahal. Harus punya mobil beserta sopirnya daripada naik metromini atau kopaja. Atau kalau tidak, harus naik taksi setiap hari. Atau kalau mau belanja kebutuhan sehari-hari, ada berbagai macam mal, supermarket, hypermarket, dan butik. Tidak perlu desak-desakan di pasar tradisional atau grosiran atau ITC. Tidak butuh warteg atau warung tenda kaki lima, karena ada kafe dan restoran yang tak kalah dengan yang ada di Singapura dan Malaysia. Mungkin mereka ingin memanjakan diri mereka dengan semua yang mahal namun menyenangkan itu, seperti candu yang bisa melupakan sisi lain Jakarta yang mendekati neraka yang kumuh dan bikin pecah kepala.

Yah, waktu jua lah yang akan menentukan, sampai sejauh mana Jakarta akan menyiapkan dirinya untuk menjadi New York-nya ASEAN? Atau menunggu Bang Kumis terinspirasi oleh Pak Bloomberg, walikota New York, yang terpilih dua kali, yang punya "PlaNYC: A Greener, Greater New York", yang meminta digaji US$ 1,- per tahun, dan yang mau memberdayakan city commisioner-nya (tidak seperti Bang Kumis,yang tak pernah memberdayakan 5 walikotanya, typical one-man-show-nya-sutiyoso).

Yah, mestinya kita tunggu saja. Kita tunggu sampai warga Jakarta, menggeram dan melakukan revolusi, barangkali. Suatu hari ...

Labels: , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 3:06 PM | |

<<< === === >>>


Bilangan Fu yang Membawaku ke Rawa Buaya

Posted on Wednesday, July 23, 2008

Ayu Utami kembali lagi rupanya. Setelah cukup lama tidak terdengar beritanya (ah, kayak kenal aja…). Kali ini dia muncul ke permukaan lagi dengan novel terbarunya, Bilangan Fu, yang saya singkat saja dengan BF ya.

BF, secara garis besar bercerita tentang seorang pemanjat tebing bernama Yuda yang muak dengan listrik dan televisi yang membius masyarakat dalam kebodohan, yang punya kekasih bernama Marja yang merdeka. Kemudian seseorang geolog dan pemanjat belia berjari duabelas, masuk ke dalam petualangan mereka, sambil menawarkan ke Yuda cara baru dalam menerawang dan menaklukkan gunung, serta sebuah pandangan baru (atau sebuah ‘agama’ baru) yang menganjurkan laku-kritik terhadap tiga hal, yaitu 3M: Modernisme, Monotisme dan Militerisme, yang cenderung telah memanipulasi kekuasaan untuk menindas yang liyan, yang lemah, dan yang dianggap bodoh.

Saya tidak ingin membandingkan BF dengan Saman atau Larung, yang sudah tersohor sebelumnya, karena saya sendiri juga sudah lupa dengan isi cerita dua novel terdahulunya tersebut (makanya saya beli lagi Saman dan Larung, yang sebelumnya dipinjam teman saya Hengki, dan belum dikembalikan. Sialan tuh anak,… hueheheh). Tapi kalau seingat saya, Saman dan Larung lebih seru alur ceritanya, mendebarkan secara emosi dan debarannya sambung menyambung tak henti. Sedangkan BF mendebarkan pikiran tapi tak cukup menghanyutkan emosi. Mungkin karena di dalam BF ini bukan gejolak emosi yang ditawarkan, namun sedikit pergeseran pandangan yang ayu utami judulkan sebagai spiritualisme-kritis..

Ketika baca BF ini, jangan mau terjebak dengan kata-kata aneh yang membuat kamu takjub. Kata-kata yang ganjil, walaupun memang mungkin ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tapi jarang kita temukan. Ketika saya menemukan kata-kata aneh tersebut, saya skip saja. Karena saya pikir itu jebakan, yang membuat kamu melambat dalam membaca buku ini, dan malah sibuk mereka-reka artinya atau malah berhenti untuk buka website KBBI dulu. Saya pun tak mencatat daftar kata-kata ganjil itu. Jadi saya tak bisa kasih tau contohnya. Seru juga rupanya ya bahasa Indonesia ini. Banyak kata-kata yang sebenarnya indah nan lucu, tapi jarang dipakai. Mestinya saya catat kata-kata itu ya. Nanti lah.

Satu hal lagi yang menarik adalah pengunaan nama tokohnya. Ada Yuda (yang mirip Yudisthira, dan juga mirip Yudea), ada Parang Jati (yang arinya Batu Karang sejati,yang mirip Petrus), ada Marja (yang mirip Maria), dan ada Pontiman Sutalip (coba bandingkan dengan Pontius Pilatus. Dan coba Sutalip dibaca terbalik), juga tak ketinggalan ada Masyarakat Monoteisme yang disingkat Mamon. Lucu juga. Atau saya ngaco ngeliatnya dan mengada-ada? Huehehehe…. Terus yang benar-benar terasa tidak sreg buat saya adalah Ayu Utami memakai tokoh Yuda sebagai penutur cerita, tapi dengan penuturan gaya perempuan. Jadi kesannya agak lenjeh. Atau sengaja barangkali ya, mungkin Ayu Utami ingin menunjukkan bahwa laki-laki bisa saja punya cara meramu pikiran seperti perempuan. Atau sayanya saja yang terlalu bias gender?

Tapi memang buku ini memang berat dalam arti sesungguhnya karena tebal halamannya yang mencapai 500an halaman lebih dikit. Walaupun memang kertas yang dipakai adalah kertas khusus yang berasal dari pohon yang sudah tersertifikasi sebagai hasil pembudidayaan pohon kertas yang ramah lingkungan, namun kalau membaca tuntas BF ini, agak terasa boros juga tulisan yang ada di dalamnya. Bukan karena adanya taburan kliping-kliping Koran fiksi serta cerita kerajaan Mataram, Nyai Rara Kidul, Pewayangan, dan cerita daerah lainnya. Yang ini saya anggap bukan pemborosan, paling tidak buat saya ini penyegaran buat saya. Tapi yang membuat BF ini terasa boros kertas adalah karena banyak pengulangan-pengulangan kalimat dengan paraphrase yang pada intinya sama. Ketika lepas membaca beberapa halaman, ide yang sama berulang lagi di halaman-halaman berikutnya, seperti sedang ada penegasan berkali-kali seolah takut pembaca terlepas dari pegangan pemahamannya. Jadinya, membaca BF ini seperti sedang membaca selebaran propaganda atau kampanye McCain, kandidat presiden USA dari Republikan itu. Ah, tidak juga, mungkin tepatnya seperti mantra yang terus berulang-ulang, seperti doa novena dan litany orang kudus yang suka saya baca ketika di gereja dulu. Begitulah BF, dengan tawaran spiritualisme-kritis-nya, yang di tegaskan berulang-ulang seperti sebuah mantra dan litany yang mencoba membawa pada kesadaran baru, kesadaran bahwa kebenaran harus dijunjung, ditanggung, bukan ditancapkan ditanah dan menjadi patokan untuk menghakimi orang lain. Begitu juga modernisme, …. dan monoteisme. Sehingga mereka, isme yang tradisional, lokal, indigenous bisa terhindar dari aniaya. Juga sehingga mereka yang menyembah (menghormat pada) gunung, pohon besar, gua gelap, dan laut selatan juga tak tertindas. Karena mereka yang lemah itu lah malah justru kuat dalam memelihara bumi, sedangkan modernisme dan monoteisme kadang malah sibuk memelihara langit (di tingkat tujuh) tapi tak perduli dengan alam.

Tapi apakah bilangan fu itu sendiri? Bagaimana sebuah bilangan bernama fu, menjadi salah satu kerangka misteri di buku ini? Ah, kiranya sudah cukup ya ulasan saya ini yang gak pakai teknik close-reading, tapi instant-reading, seadanya. Baca sendiri saja bukunya. Yang jelas, hati-hati baca buku ini, bisa jadi kecewa, tapi bisa jadi terhipnotis dengan ‘mantra-mantra’ yang ada di dalamnya. Seperti saya, yang sempat terkena hipnotis itu sehingga membawa saya tersasar naik kereta sampai ke Rawa Buaya. Jadi, ketika saya asik membolak-balik halaman BF ini sambil menunggu kereta Sudirman Ekspress tujuan Serpong, saya pun tidak mengamati ketika saya masuk ke kereta apa yang berhenti di depan saya. Alhasil, saya terbawa kereta Cisdane, dan baru sadar ketika sudah lewat Tanah Abang. Terpaksa turun di stasiun Rawa Buaya, dan menunggu kereta arah balik ke Tanah Abang. Sementara menunggu di stasiun Rawa Buaya yang sunyi senyap itu, habislah tangan, kaki dan muka digigiti puluhan nyamuk.

Jadi pesan moral tambahan, berhati-hatilah kalau baca-baca buku sambil nunggu kereta, apalagi kalau buku itu ada mantra-mantra yang menyihir kamu sampai lupa dunia sekitarnya.

Labels: , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 10:16 PM | |

<<< === === >>>