iman, harapan, kasih
Posted on Tuesday, January 11, 2005
Aku baru re-read lagih buku Philip Yancey, "Di manakah Tuhan di saat Kita Menderita", buku yang aku gak tau gemana mengungkapinnya, because it's really a blessing....
Siapa sih manusia di antara kita yang ingin menderita. Siapa coba yang ingin merasakan sakit (pain). Pertanyaan klise yang jawabanya MUNGKIN adalah "tidak ada". Aku bilang MUNGKIN karena masih banyak orang yang menikmati penderitaan dan rasa sakit. Tanya saja ke penganut sado-machosist, atau para workahollic yang senang disiksa bosnya, ibu rumah tangga yang mebiarkan dirinya dijajah suaminya (atau sebaliknya). Banyak juga kok sebenernya dari kita yang di dalam hatinya itu mencari nikmatnya suffering and pain.
Apabila kita ingin tahu sebesar apa pentingnya rasa sakit itu dalam hidup kita, mungkin kita perlu tinggal beberapa minggu bersama para penderita lepra/kusta. Dan kita bisa tahu bahwa yang sangat fatal dari mereka itu sebenarnya bukan dari luka-lukanya, tapi dari sistem saraf mereka yang sudah tidak merasakan lagi apapun di kulit mereka. Sehingga mereka dengan tak sadar merusak bagian tubuhnya secara tidak sadar. Mereka kadang tak sadar lecet kakinya dari berdarah-berdarah sampai putus jarinya. Dan hal-hal sepele yang kadang mereka tak sadar telah merusak bagian tubuh mereka karena sudah tidak merasakan sakit lagi di kulitnya. Mereka mengangkat panci panas, tangan kaki kena paku, mbuka kunci dengan paksa, dan seterusnya yang pada akhirnya merusak jaringan tubuhnya.
Jadi, jangan meremehkan rasa sakit dan penderitaan. Karena itu sudah jadi bagian dari sebuah sistem peringatan dini yang bilang "hei, ada yang salah nih. hati-hati dengan tubuhmu." Begitu juga dengan apa yang terjadi di hidup kita. Sebuah sistem peringatan dini sudah di-install di dalam sistem kehidupan kita.
Mengenai penderitaan dan rasa sakit itu sendiri, ada dua komponen yang mengikutinya.
1. Penyebab, apa yang menyebabkan dan kenapa.
2. Reaksi, respon berupa aksi. Kalau menilik dari kata dasarnya, re-AKSI, ini perlu ada unsur sikap dan aksi, karena kalau merespon dengan sbuah pertanyaan ituh bukan reaksi namanya.
Dan biasanya kita pasti banyak mencari yang pertama. Penyebab dengan diikuti beribu pertanyaan. Kenapa? Kenapa saya? Apa yang sudah saya lakukan? Dimana kamu, Tuhan? Kenapa seberat ini, Tuhan? Kenapa sesakit ini? Siapa penyebabnya, Tuhankah atau siapa? dan berbagai pertanyaan lain yang seringnya kita tidak bisa mendapatkan jawabannya.
Maka wajar sekali apabila pada akhir-akhir ini kita mendapatkan orang lain dan diri kita juga sedang bergumul di ruang kepala, mencari-cari penyebab sambil bertanya-tanya: ada apa, Tuhan? Ada apa dengan Nabire, Alor, Aceh, Nias dan Palu yang kau goncangkan gempa? Kenapa dahsyat bencana itu? Kenapa Aceh yang Kau pilih tersapu tsunami? Kenapa banyak yang mati? Dan anak-anak kecil itu, kenapa mereka?
Hampir semua orang pasti seperti itu. Dan Larry King pun apabila punya kesempatan mengundang Tuhan di acara talkshow-nya, dia pun sudah punya list pertanyaan seperti itu. Maka itu ada orang yang membuat
imaginery interview of Larry King with God .
Memang sih ada beberapa kejadian yang bisa kita pertanyakan sebab akibatnya, seperti banjir di jakarta ini. Kita bisa menemukan preliminery answernya kalow banjir jakarta disimpulkan disebabkan karena kebodohan Sutiyoso (maaf, personal) dan aparatnya dalam pengelolaan drainage di jakarta. Atau peristiwa tergelincirnya pesawat lion air sampai patah dua di Solo, ang tinggal mencari kotak hitam atau menggambar sketsa simulasi pendaratan dan menyalahkan cuaca dan kondisi landasaan. Kalau itu, bisa mungkin. Tapi sebaliknya, “kotak hitam” dan juga “kambing hitam” tidak ada ketika gempa bumi menggodam, ketika gelombang tsunami menghancurkan dusun dan kota dan pantainya, dan juga ketika banyak anak kecil mati atau hanyut bersama orangtuanya. Justru banyak peristiwa menyedihkan yang tak mempunyai jawaban.
Aku jadi inget pernah nonton film kartun "Looney Toon" (bener gak sih nulisnya inih?). Waktu itu bagian di mana si Plucky, bebek hitam kecil itu ditimpa kesialan dan kemanapun dia pergi selalu tertimpa barang-barang berat mulai dari alas pukul pandai besi, sampai kapal pesiar. Bayangin, bebek kecil ketimpa kapal pesiar dari langit. (Ah, namanya juga kartun). Anyway, sampai pada suatu adegan di mana dia mulai tiba jenuh dan sampai di atas gedung dia menengadah ke langit dan berteriak sambil ngeluarin papan demo dengan tulisan “Why Me?..WHY??” . Dan mendadak awan menggumpal dan kilat-kilat kecil menyambar, lantas ada suara menggelegar menjawab:
“WHY NOT?” . Dan lemas lah si Plucky Duck.
Iya, kepikiran tidak kalau DIA mungkin bergumam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan dua patah kata itu: “WHY NOT??”. Ya,… kenapa tidak?
Ketika pertanyaan “kenapa?”, yang mencoba mencari sebab dan penyebab dibelakang suatu peristiwa itu, tidak bisa membawa kita selangkah lebih maju bergerak dari posisi sekarang, dan bahkan membuat kita pusing kepala menuju gila, waktu pula lah yang akan menjadi teman kita, yang akan membantu kita menemukan pola jawabannya. Kalaupun belum juga tertemukan, rasa penasaran akan jawaban itu akan menghilang. Seakan tak penting dan mendudukkan kembali kita pada kesadaran bahwa yang terpenting itu bagaimana kita ber-reaksi terhadap itu. Apa yang harus dilakukan saat pasca? Apa yang bisa didapat dari sebuah peristiwa? Aku mau apa sekaran ini? Lantas itu tak berhenti begitu saja, namun harus ada sebuah reaksi.
Dan kita harus setuju menyimpulkan bahwa masalah penting yang dihadapi oleh orang percaya yang sedang dalam penderitaan bukanlah, “Apakah Tuhan bertanggung jawab akan penderitaan?”, melainkan “Bagaimana reaksi saya atas penderitaan yang sedang/telah menimpa diri saya ini? ,
Sebuah reaksi yang mengandung unsur laku dan sikap, action and attitude, yang kalau aku coba rangkum mungkin ada di sepotong ayat berikut ini.
And now abide faith, hope, love; these three things; and the greater of these is love. (I Corinthians 13:13)
Faith:
Sepotong iman yang percaya kalau DIA beserta kita kapanpun juga di saat apapun itu. Iman yang percaya kalau DIA memberikan kekuatan selalu dan juga percaya karena DIA tak pernah membiarkan kita dalam pencobaan yang melebihi kekuatan kita. Iman yang percaya karena DIA sangat fair, karena DIA pun pernah merasakan segala kepedihan yang paling menyakitkan ketika DIA menjadi manusia. Ya, dia sendiri pernah punya pengalaman yang pernah melalui saat-saat terkelam (the darkest hour) dalam masa terakhir hidupnya sebagai manusia.
Hope:
Pengharapan yang membakar mesin jiwa manusia untuk terus berkehidupan. Pengharapan akan yang terbaik yang telah DIA rencanakan. Pengharapan akan pelajaran dan pengetahuan dan kebijakan yang lebih lagi melalui penderitaan. Pengharapan yang melawan ketakutan dan ketidakberdayaan. Pengharapan yang berpikir positif akan segala masa depan dengan keyakinan bahwa rencana DIA selalu indah adanya.
Love:
Hati yang mengasihi adalah yang dibutuhkan orang yang menderita. Hati yang mengasihi, yang berdiam diri mencoba memahami arti penderitaan, dan menghargainya. Hati yang mengasihi yang berbagi rasa sakit yang sama. Hati yang mengasihi yang mengalirkan kasihNya ke orang lain. Hati yang mengasihi yang begitu intense dan terik, sehingga menghanguskan rasa sakit dalam dirinya sendiri, akhirnya melupakannya dan memampukannya untuk memberi dan berbagi dengan orang lain.
Dan benar, yang terbesar dari ketiga itu adalah KASIH.
Labels: isme, personal
===>>> Digores oleh: dwiAgus di | @ 11:01 AM
| |
<<< === === >>>