Pemurnian
Posted on Wednesday, January 24, 2007
1476, sepasang sahabat berjalan-jalan di sebuah lorong, di sebuah kota di Eropa. Langkah mereka terhenti sejenak di depan sebuah lukisan yang terpajang di salah satu sisi bangunan. Sebuah lukisan bergambar sepasang malaikat berjalan berdampingan, bergandengan tangan, menuju sebuah kota di depan mata.
Salah satu dari dua orang sahabat itu mengomentari lukisan itu. "Kita sedang alami saat-saat menyeramkan, dikepung wabah pes. Orang-orang menderita dan mendadak mati seketika. Aku tak suka melihat gambar-gambar malaikat ini. Seolah sesuatu yang tak pernah menunjukkan kalau mereka ada, tapi menantang mereka yang tak berdaya."
"Lukisan ini justru mengenai wabah itu," kata teman satunya. "Lihat malaikat yang bergaun merah. Ia adalah Lucifer, si Jahat. Lihat, ada sebuah kantung kecil tergantung di pinggangnya. Di dalam kantung itu lah terdapat serbuk Wabah yang telah menghancurkan hidup kita dan keluarga kita."
Sang sahabat, dengan teliti, melihat kembali lukisan itu. Ya, ada sebuah kantung di pinggang Lucifer, si malaikat merah itu. Namun, malaikat satunya lagi yang mendampingi, terlihat begitu tenang, damai dan cerah.
"Kalau memang Lucifer sedang membawa Wabah, siapa pula malaikat yang mendampingi di sebelahnya dan menggandengnya?"
"Dia adalah Malaikat TUHAN, pembawa Kabar Baik. Tanpa seijinnya, si Jahat tentunya tidak bisa menampakkan dirinya seperti itu."
"Lantas, apa yang sedang dilakukannya?"
"Ia sedang menunjukkan kepada si Jahat tempat dimana manusia akan dimurnikan oleh sebuah tragedi."
cerita adopsi dari salah satu cerita dalam : Like the Flowing River (2006) by Paulo Coelho
* * * * * * *
2007, seorang pria terjebak di kemacetan di daerah Rempoa menuju perapatan Blok M. Ditemani istri tercinta dan kicauan penyiar radio yang asik bercerita. Di awal tahun ini, hari demi hari diwarnai cerita seputar bencana. Anjloknya kereta, hilangnya pesawat udara, tenggelamnya perahu di samudera, kembalinya gempa, banjir dan longsor yang tak kunjung reda, antrian beras, solar dan minyak tanah di daerah, tuntutan tunjangan anggota dewan yang dikali tiga, tersingkirnya kendaraan roda dua, jemaah tanah suci yang tersiksa, dan ancaman kematian dan wabah unggas di pelupuk mata. Entah apa lagi.
Sang pria hanya terdiam. Renungannya tak bermakna, untuk sekedar mencari sebuah resolusi yang tertunda dan segenggam harapan yang tersisa untuk awal tahun yang tak terbaca mau ke mana. Pikirnya sederhana. Bukan DIA yang memberikan taburan bencana. Tapi DIA yang punya rencana, ketika membiarkan si Jahat seakan berkuasa namun ternyata hanya sebuah alat untuk rencana indahnya. Dan kalaupun seorang malaikat Tuhan telah menunjukkan di sini lah tempatnya menabur segala bencana biarlah itu terjadi dalam rencanaNya. Untuk memurnikan makna dan tujuan semua anak manusia.
Mungkin pertanyaan yang patut diresapkan bukanlah: 'Sanggupkah sang manusia bertahan dalam proses pemurnian dan bahkan bisa merayakan kesulitan? Melainkan: 'percayakah sang manusia bahwa DIA, yang punya rencana, tak akan pernah meninggalkan anak-anakNya dalam bejana pemurnian di luar kemampuan anak-anakNya dan di luar kuasaNya.'
Percaya kah?
Labels: fiksi, isme
===>>> Digores oleh: dwiAgus di | @ 12:04 PM
| |
<<< === === >>>