:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




panggilan

Posted on Friday, April 18, 2008

Sabtu sore mendadak ada panggilan telepon dari rumah di Meruya, ada berita duka dari Gunung Kidul. Pakde Narto, seorang saudara dekat dari keluarga (alm.) Bapak, dipanggil Tuhan. Mamak pun meminta ditemani pergi pulang ke kampung untuk melayat.

Setiba kami di kampung di Minggu pagi, sebelum melayat, kami sempatkan dulu pergi ke sebuah misa di gereja katholik Santo Yusuf, Bandung, Wonosari. Dan ternyata kebetulan di sela-sela acara liturgi, ternyata ada acara promosi panggilan menjadi imam. Ada 2 orang frater dan 1 orang suster, berbagi cerita tentang panggilan mereka menjadi calon imam dan pelayan Tuhan. Sebelum mereka bercerita kisah perjalanan mereka yang membawa mereka pada keputusan untuk menjadi calon imam dan pelayan Tuhan, Pastur yang sedang memimpin misa bercerita bahwa dengan bertumbuhnya jemaat, permintaan akan imam dan pelayan Tuhan semakin bertambah, namun di sisi lain suplai berkurang. Seperti yang dialami Seminari Mertoyudan, yang semakin menurun jumlah peminat yang mendaftar, yang katanya mungkin bisa terancam jadi Sekolah SMU pada umumnya. Dan kecenderungan ini bisa membahayakan ketersediaan imam dan pelayan gereja.

Kemaren saya juga menemukan blog-nya Romo M.Hadisiwoyo yang mengasuh Seminari Mertoyudan di sini, dan saya pun mencoba mencari konfirmasi dari beliau. Begini jawaban beliau:

Kiranya tidak hanya Seminari Mertoyudan, tetapi juga seluruh ordo dan kongregasi suster/bruder mengalami krisis panggilan. Maka sekarang ini memang sedang digalakkan promosi panggilan di mana-mana, termasuk Seminari Mertoyudan.

Perlu kami informasikan, Seminari akan tetap sebagai pendidikan bagi calon-calon imam. Memang pernah ada wacana Seminari dibuka juga untuk mereka yang tidak ingin menjadi imam, tapi punya potensi untuk menjadi rasul awam yang tangguh. Tapi basisnya, Seminari tetap menjadi tempat pendidikan bagi calon-calon imam. Idenya, Seminari menjadi tempat pendidikan bagi calon imam dan calon awam. Hanya ide ini belum berkembang. Karena sekarang Seminari masih tetap seperti dulu.

Pendaftar masuk Seminari tahun ini, tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun lalu. Yang mendaftar dari SMP ada 134, ikut tes 124, lolos tes akademik dan wawancara 72 calon; dari SMA/SMK, pendaftar ada 23, ikut tes 2o, lolos tes akademiki dan wawancara 5 calon. Demikian sedikit info yang dapat saya sampaikan !

Saya kemudian jadi teringat gambar di bawah ini, yang judulnya "The Descent of the Modernists", by E. J. Pace, pertama kali muncul dalam bukunya, Christian Cartoons, diterbitkan tahun 1922. Gambar kartun ini saya temukan dalam buku "The Day the Universe Change" karya James Burke, dan saya scan deh (Kebetulan copyright gambar ini public domain, liat ajah di sini). Kalau kata si James Burke ini, kartun ini sebagai gambaran perubahan dunia (khususnya dunia kekristenan) ketika muncul teori Dawin (sebagai lambang modernitas saat itu) yang begitu cepat merebak dan mengguncang dunia, saat itu. Liat gambar 3 figur yang menuruni tangga itu: seorang pelajar muda, seorang pengkotbah, dan seorang professor/scientist, yang mungkin menggambarkan kemungkinan resiko kelompok tersebut menuruni tangga menuju atheism.



Ya, modernitas (dan juga post-modernitas) telah menggubah dunia dan membawa kita ke dalam dunia seperti sekarang ini, dengan kemajuan pemikiran, teknologi, sains dan budaya. Juga perubahan lambat atau cepat dalam kekristenan. Termasuk mempengaruhi jumlah mereka yang berminat menjadi imam dan pelayan Tuhan. Mungkin para modernist melihat bahwa semakin banyak orang yang merasa bisa mendapatkan kebutuhan personalnya dengan tidak membutuhkan seorang imam. Atau mungkin pemikiran saya ini ngawur.

Tapi kalau boleh saya tanya, kamu ada di tangga yang mana dalam gambar itu? Jawabannya, boleh dibagikan di sini atau disimpan dalam hati juga gak papa, karena sekarang ada Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) yang ternyata berkewenangan bisa melabeli kamu sesat, yang barusan saja kemarin menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah itu sesat sesesat-sesatnya, dan harus bubar. Kasihan ya, para jemaat Ahmadiyah. Karena bisa saja keputusan seperti ini nanti disalahgunakan mereka yang radikal untuk mempersekusi mereka, memburu mereka, menghancukan tempat ibadah dan tempat tinggal mereka. Mungkin Ahmadiyah itu dikhawatirkan sebagian orang akan merusak nama Islam, ya. Namun, bukankah Islam terlalu besar dan agung untuk dirusak oleh apapun juga di dunia ini?

Mudah-mudahan Bakorpakem (nama badan yang lucu ya, tapi pas) tidak melakukan hal yang sama kepada Saksi Yehova, atau aliran-aliran laindalam Kristen yang sering orang kristen cap sebagai yang sesat. Mudah-mudahan KWI dan PGI tidak ikut-ikutan , dan tidak merekomendasikan hal yang sama terhadap alian-aliran lain dalam kristen. Kalau kita percaya dengan kekristenan kita, kenapa pula kita khawatir Saksi Yehova akan merusak dan menguncang kekristenan kita? Kebetulan (Alm.) Pakde Narto adalah anggota Jemaat Saksi Yehova, dan saya merasa, seru juga punya saudara yang jadi anggota Saksi Yehova yang dihormati saudara-saudara seiman mereka. Merasa seru karena indah punya keragaman iman dalam sebuah keluarga besar.

Kemudian, apa tidak ada hak asasi untuk sesat ataupun untuk tidak sesat, ya? Bukankah menjawab panggilan untuk sesat dan tidak sesat, adalah hak dan pilihan hidup. Menurut saya sih, biarlah kita menanggapi panggilan kita masing-masing dengan percaya bahwa Dia yang mengaturnya dengan baik, dalam skenario dia yang baik adanya pula. Lalu kenapa kita harus resah dengan panggilan kita dan panggilan orang lain untuk berada di jalanNya ataupun di luar jalanNya, berdasarkan masing-masing perspektif dan sumsi yang beragam terhadap "jalanNya" tersebut.

Labels:

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 3:47 PM | |

<<< === === >>>