:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




Kota dan Sepeda

Posted on Friday, August 08, 2008

Kalau kita mau nostalgia masa kanak-kanak kita bahkan sampai remaja, tentunya kita tak akan pernah lupa kenikmatan masa-masa ketika kita menggenjot sepeda, keliling-keliling komplek rumah atau perkampungan sekitar, atau mengunjungi rumah teman -teman sepermainan. Betapa nikmatnya masa itu, ketika sepeda adalah sebuah alat bagi seorang anak menikmati kebebasan mengendalikan sesuatu, karena sepeda bisa membawa anak ke dalam dunia yang dirasa sudah dalam genggam kuasanya.

Tapi sekarang mungkin anak-anak sekarang apalagi remaja sudah banyak lupa untuk bersepeda, teralihkan oleh asiknya bermain playstation dan sega, serunya televisi, serta nyamannya berkendara empat roda. Hanya mereka anak-anak yang ada di daerah-daerah bukan kota-kota justru yang bergembira menikmati nikmat bersepeda.

Tapi jangan salahkan si anak di kota-kota bila mereka tak tertarik menaiki sepeda, juga jangan salahkan orang tua di kota-kota besar bila mereka lebih suka membelikan mainan video game daripada menemani anaknya naik sepeda.

Begitupula, anak-anak muda sekarang, saya rasa, lebih suka memilih memiliki kendaraan roda empat, sebagai mainan mengasyikkan sambil menghabisi masa remaja. Kalau tak mampu, mereka beli sepeda motor, yang kelihatannya lebih perkasa dibandingkan sepeda. Maka sepeda telah menjadi simbol mereka yang tak mampu. Mereka yang miskin. Karena berkendara sepeda sangat mungkin berarti tidak mampu untuk membeli motor atau mobil yang sudah jadi penanda status ekonomi masyarakat untuk digolongkan miskin atau sejahtera (liat saja kriteria untuk penerima BLT, kalau punya motor dianggap bukan miskin). Jadi demi menjaga status ekonomi yang indah di mata masyarakat, orang lebih suka membeli motor, dan kalau sudah beli motor, buat apa beli sepeda lagi? Bukankah sebagian besar orang berpikir seperti itu?

Mungkin yang bisa kita salahkan ada di luar sana. Jalan raya dan lingkungannya yang tak akrab lagi dengan pesepeda. Jalan yang ruangnya sudah tersesaki dan terperkosa oleh pengendara lainnya. Motor, mobil, angkutan umum semuanya ingin menjadi penguasa jalan raya. Tak ada sisa ruang buat sepeda.

Kalau dulu ketika kita masih anak-anak, masih berani keluar rumah dan menjelajahi jalanan di seputar rumah, sedangkan sekarang, sangat jarang orang tua yang berani mengijinkan anaknya keluar rumah berkeliaran dengan sepeda.

Lingkungan komplek perumahan yang aman bagi pesepeda pun sudah merupakan kemewahan, yang mungkin cuma bisa didapat dalam komplek perumahan yang agak mewah, dengan jalan kuldesak, atau perumahan dengan sistem klaster tertutup, atau sebuah town-house yang eksklusif. Namun itu tidak menjamin para orangtua memberanikan anak-anaknya keluar rumah bersepeda. Karena di luar sana, sebuah rimba belantara jalan raya sana, penghuninya saling bertarung merebut kuasa.

Masalahnya kembali ke itu tadi. Kota-kota di negara kita tercinta seperti lupa masa kecilnya. Masa kanak-kanak ketika bermain dengan sepeda. Ketika kota berkembang, ia lupa memberikan ruang bagi si pesepeda. Yang dimanja adalah mereka yang bermotor namun pengotor. Pengotor udara tepatnya. Berbagai fly-over bertumpukan di berbagai persimpangan Kota. Underpass pun mulai menggasruk-gasruk ruang bawah tanah jalan raya. Semuanya demi lancarnya sepeda motor dan si empat roda. Tapi di mana ruang untuk sepeda?

Mungkin para pesepeda memang harus bertarung dengan para pengendara kendaraan bermotor lainnya. Mungkin memang para pesepeda dipandang tidak perlu diistimewakan, jadi harus diperlakukan sama dengan pengendara lainnya. Jadi harus sama-sama berjuang berebut kuasa atas ruang di jalan raya.

Sepertinya memang ada anggapan tertentu oleh banyak orang di banyak kota besar ini bahwa sepeda itu bukan alat tranportasi yang layak di dunia modern ini. Mereka menganggap, boleh lah sepeda sebagai untuk keliling-keliling kompleks rumah, belanja ke warung, mengunjungi tetangga, atau sekedar olahraga menghabisi senggang waktu atau untuk melepas kerinduan masa kecil yang bahagia dengan sepeda. Tapi kalau untuk alat tranportasi utama untuk bekerja, ke kantor, ke tempat usaha atau ke sekolah, ... weit, nanti dulu. Masih banyak orang menganggap sepeda bukanlah alat transportasi yang layak untuk bersaing ruang di jalan raya. Jadi menyingkir sajalah, wahai pesepeda. Begitu sepertinya pandangan banyak orang-orang di kota.

Tapi untungnya, ternyata ada sekelompok orang yang perduli dengan keadaan tersebut. Mereka yang memulainya pada tanggal 6 Agustus 2004 dengan mulai mempromosikan bahwa sepeda adalah tak kalah istimewanya dengan kendaraan bermotor dua atau empat roda. Dan sepeda tak seharusnya tersingkirkan dari jalan raya. Dan bersepeda bisa jadi dan sangat pasti adalah pilihan yang bijak dan logis untuk berkendara di kota, ... untuk diri sendiri, untuk sesama, untuk kota, untuk semua.

Mereka lah yang menggagas komunitas bike to work (b2w), yang kemudian dideklarasikan tanggal 27 Agustus 2004, dan kemudian berkembang dengan anggota ribuan orang pesepeda (pekerja, anak sekolah, kuliahan). Mereka ini lah yang mencoba menunjukkan bahwa para pesepeda adalah perwakilan mereka yang tersingkir, tak perduli miskin ataupun kaya, tapi istimewa, karena yang mereka perdulikan hanyalah kota tempat mereka hidup yang mestinya bisa ditinggali dengan nyaman dan bebas polusi. Saya rasa mereka bukan hendak sekedar bernostalgia masa kanak-kanan yang bahagia dengan sepeda, tapi lebih dari itu mereka punya misi dan visi. Misi dan visi yang mulia, ingin menciptakan lingkungan yang sehat dan bersahabat bagi para pesepeda. Karena sepeda itu sendiri telah bersahabat dengan lingkungan dan memberi manfaat sehat bagi pengendaranya, jadi lingkungan itu sendiri harus dibuat sehat dan bersahabat bagi para pesepeda. Maka tak salah, kalau tujuan mulia dari komunitas ini adalah adanya ruang yang sehat dan bersahabat untuk para pesepeda, sebuah jalur khusus sepeda di sepanjang jalan agar pesepeda dapat secara fair mendapatkan haknya atas ruang bergerak.

Tapi visi dan misi ini bukan berarti para pesepeda minta dikasihani, karena memberikan jalur yang terpisah dengan kendaraan bermotor bukan berarti memberikan perlakuan istimewa, melainkan memberikan hak yang sama bagi semua pengguna jalan secara fair menurut kebutuhan. Bukankah sangat tidak fair kalau membiarkan pertarungan akses ruang jalan antara pesepeda (yang lebih vulnerable) dengan pengendara mobil atau motor? Lebih dari itu, jalur sepeda khusus justru bisa memperlancar lalu lintas karena minimalisasi konflik perebutan ruang jalan antara kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor (alias sepeda dan kawan-kawannya).

Sepertinya komunitas b2w ini bisa melakukan lebih lagi untuk mewujudkan visi dan misi itu, mengingat ada Bang Fauzi "Kumis" Bowo, pak Gubernur Jakarta tercinta, dalam jajaran pelindung keorganisasian b2w ini (bersama Pak Kusmayanto Kadiman). Tapi bola akan selalu berada pada Bang Fauzi Bowo, yang punya kuasa dan yang adalah ahlinya (seperti kampanye beliau). Mau atau tidak beliau dengan berani, memulainya dari yang kecil, sepenggal jalan demi sepenggal jalan dibuat jalur khusus sepeda. Jangan cuman tiap minggu doang, untuk beberapa jam doang, hanya penggal jalan sudirman-thamrin pula. Gebrakan lebih dari itu harus ada nih, Bang.

Mungkin video kampanye di bawah ini bisa jadi inspirasi buat kita semua, terutama untuk Bang Fauzi. Video ini dibuat oleh Interface for Cycling Expertise (I-CE), yang menggambarkan para pesepeda yang beruntung dari Belanda, Denmark dan Colombia dan menunjukkan bahwa menciptakan kota yang bersahabat dengan pesepada, adalah sesuatu yang bijak dan beradab.


Sementara saya mempersiapkan sepeda saya untuk bike to work perdana saya, besok Senin ya, tanggal 11 Agustus 2008. Sebagai persiapan untuk itu, saya coba lupakan dulu masa indah saya ketika kecil mblasuk-mblasuk kampung-kampung di Meruya, atau di sawah-sawah di pinggiran tol Jagorawi (kalau menemani teman berlibur ke Bogor). Bahkan saya akan lupakan dulu masa-masa indah saya ketika bersepeda di Rotterdam dan dimanja oleh jalur khusus sepeda yang nyaman dan dihormati secara istimewa oleh pengendara kendaraan bermotor di penyeberangan jalan. Biarlah saya hadapi dulu kenyataan pada hari Senin nanti, bahwa Jakarta-ku BELUM siap mejadi kota yang bersahabat dengan pesepeda.

Labels: , , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 1:38 PM | |

<<< === === >>>