Semua untuk Aceh
Posted on Monday, February 28, 2005
Ketika sebuah kota, hmmm, maaf, bukan sebuah, tapi banyak kota, di Nanggroe Aceh Darussalam, luluh lantak oleh gempa dan gelombang tsunami yang tak pernah terduga, sontak semua mata tertuju ke ujung barat indonesia itu, ada yang dengan menangis, mengerang, ada pula yang bingung dan bertanya-tanya, ada pula yang terluka namun terjun ke lokasi bencana, menebar aksi kemanusiaan yang cukup membanggakan. Lantas kemudian mengalir dana-dana yang melimpah dari mana-mana. Mulai dari individu dan lingkungan keluarga, perkumpulan arisan, koperasi, klub pencinta motor, sampai perusahan dan lembaga-lembaga besar lainnya, international maupun lokal.
Sudah hampir dua bulan yah dan sudah hampir dua bulan pula geliatnya makin terasa. Geliat untuk pulih kembali. Walaupun katanya masih berbau anyir di beberapa tempat terutama di genangan2 air yang terperangkap menjadi rawa, dan juga masih banyaknya pengungsi-pengungsi di daerah pelosok yang belum kembali, tapi mau tidak mau, tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi sudah menjelang. Deadline pulang untuk tentara-tentara asing yang memberi bantuan pun sudah dekat. Sekarang semuanya sudah di tangan
Bagaimana merekonstruksi dan merehabilitasi kota-kota itu? Semuanya pun dengan stinggi sudah membayangkan dan menawarkan bagaimana dan seperti apa kota-kota tersebut sebaiknya direkonstruksi dan direhabilitasi.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) punya rencana dan strategi, begitu pula yang lainnya, seperti
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT),
Kementrian Negara Lingkungan Hidup (MennegLH), dan
Departemen Pekerjaan Umum (PU) apalagi. Yang semuanya akhirnya dengan instruksi dari bapak SBY, semuanya dikoordinasikan di
Bappenas dalam satu Pokja Aceh, dimana disebutkan bahwa semuanya harus ber-acu-an pada
blue-print yang dipersiapkan oleh Bappenas
Itu dari pemerintah. Ada pula inisiatif dari swasta seperti Grup ArthaGraha-nya Tommy Winata, dan konsultan-konsultan lain yang rajin mengunjungi dan mengetok pintu Bappenas dan Departemen PU, melongok berharap dapat kecipratan proyek, lantas ada NGO seperti
Ikatan Ahli Perencana (IAP), sampai ada pula tawaran dari negara tetangga Malaysia yang merasa berpengalaman membangun kota islami. Tak hanya menawarkan konsep, rencana (tata raung, blue-print, atau entah apa itu namanya), tapi juga imbauan dari banyak lsm (
IAI,
UPC, dll.), pakar, akademika (
ITB dengan tim planolognya,
IPB dengan
konsep agroekopolitan-nya), dan para pengamat yang budiman, dalam pelaksanaan relokasi, rekonstruksi dan rehabilitasi yang dilakukan pemerintah. Semuanya bertebaran di surat kabar, dan beberapa miling list.
Respons darurat sudah lewat, dan jalan-jalan dan petak-petak tanah sudah lebih bersih dari puing dan sampahyang tadinya berserakan. Pengungsi banyak yang ingin kembali ke tempat asalnya. Memperbaiki tempat tinggalnya. Tapi mungkin tak banyak. Mungkin juga tak sedikit. Tapi sungguh wajar ketika banyak pihak dari pemerintah berpikir praktis dan cepat ingin menjawab kebutuhan para pengungsi akan tempat tinggal. Barak.
Barak mungkin terlihat sebagai solusi yang cepat, praktis dan agak hemat. Tapi menurut beberapa pihak, mengacu pada
kasus gempa di Gujarat, India, pembangunan barak malah akan menjadi kemubasiran. Lebih dari itu, barak akan mengkikis nilai-nilai sosial kultur aceh cepat atau lambat, karena dikhawatirkan terjadi pergesekan nilai-nilai berbeda dalam satu barak yang berisi beberapa keluarga tak saling mengenal dan berbeda latar belakang. Belum lagi potensinya untuk dikorupsi, serta campur tangan militer yang besar dikawatirkan mematikan potensi membangun masyarakat.
Pilihan lain adalah membangun kembali dengan partisipasi sebanyak mungkin dari masyarakat. Masyarakat difasilitasi untuk membangun sendiri di tapak tanah bekas rumahnya, dengan sedikit bantuan uang, bahan bangunan, dan saran teknis. Dengan hancurnya hampir semua data-data kepemilikan tanah yang ada di kantor BPN setempat dan juga surat-surat yang dipunyai masyarakat juga banyak rusak dan hilang, maka bagaimana dengan status tanahnya? Justru itu, masyarakat Aceh sendiri lah yang bisa mengidentifikasi kepemilikan tanah-tanah mereka. Jangan nanti terjadi penyerobotan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Memang semestinya BPN Pusat juga mempunya salinan surat-surat tanah mereka, tapi sampai sekarang tidak kedengaran tuh BPN bergerak, karena memang tidak bisa diandalkan. Jadi, satu-satunya yang menurutku bisa dilakukan yaitu pengidentifikasian kepemilikan tanahnya, secara bersama-sama tentunya dengan kelompok-kelompoknya masing-masing yang sudah saling kenal-mengenali, dan bisa saling memperkuat justifikasi satu sama lain terhadap tanahnya masing-masing. Memang tak mudah yah. Tapi bagaimana lagi. Di lapangan nanti lah mestinya masyarakat terutama para tokoh dan pemuka adat harus diberdayakan untuk berperan serta dalam rekonstruksi itu. Mulai dari pengidentifikasian kepemilikan, rancangan permukimannya, dan identifikasi kebutuhan fasilitasnya. Jadi rapid need assessment, yang biasanya dilakukan pakar dan konsultan itu mestinya memang harus berangkat dari masyarakat dan dikonsultasikan dengan mereka.
Jadi, pilihannya sekarang apa? Relokasi vs. Resettlement di lokasi sama. Barak vs. Community Based Housing Development. Hmmm....
1. Relokasi vs. Resettlement di lokasi yang sama. Sebagian daerah sudah banyak menunjukkan keberatannya untuk direlokasi, [
Kompas, 25/02/2005], terutama mereka yang kehidupannya berdagang, tak bisa bertani, dan biasa dekat dengan pantai. Menurut aku, patut dipertimbangkan juga. Ada juga usulan pembangunan kembali lokasi lama dengan konsep "Escape Hill", ditawarkan Pak Andy Siswanto, [
Kompas, 24/02/05] yang disambut oleh pengungsi dengan baik. Tapi Bappenas sudah mengkonsultasikan blue-printnya ke banyak pihak dan menawarkan kosep relokasi untuk beberapa tempat dan membebaskan kawasan rawan bahaya dekat pantai untuk kawasan penyangga hijau. Walaupun sudah dikonsultasikan ke Universitas Syah Kuala, namun kemungkinan masih banyak penolakan oleh para pengungsi di beberapa kawasan. Namun sebenarnya kita juga jangan menutup kemungkinan bahwa ada beberapa pengungsi yang juga mungkin berkeinginan pula untuk relokasi, seraya traumanya masih dapat bangkit lagi berhubung frekuensi gempa di Aceh dalam setahun cukup sering.
2. Barak vs. Community Based Housing Development. Benarkah pembangunan barak itu sesuatu yang nantinya akan menjadi suatu kemubaziran? Tergantung. Kalau selepas pembangunan barak itu, kemudian tidak dipakai dan akhirnya dirobohkan, ya jelas itu kemubaziran. Tapi apakah akan seperti itu. Apakah tak mungkin barak itu direvitalisasi fungsinya. Atau jadi museum (bisa kah?) atau direnov jadi bangunan yang disewakan. Tak akan jadi kemubaziran. Lepas dari segala tentangan banyak pihak, yang jelas beberapa barak sudah dibangun, dan ada yang sudah tak sabar menanti, dan ada yang sudah menikmati [
Kompas,21/02/05,
1;
2][
Kompas,28/02/05].
Ketidakjelasan rencana yang ada sebenarnya tidak perlu dibahas dengan berpusing-pusing ria, karena semuanya tidak perlu dipusingkan, diyakinkan ataupun diperdebatkan. Seorang perencana sebenarnya hanya menawarkan opsi-opsi yang harus dapat ketemu dengan apa yang dimaui dan dibutuhkan "client"-nya secara bertanggung jawab dan rasional.
Pemerintah punya rasionalnya sendiri ketika mereka memutuskan pembangunan barak sebagai suatu solusi (sementara) yang dianggap cepat, praktis dan cukup responsif terhadap kebutuhan beberapa pengungsi di beberapa tempat. Tapi ini juga ternyata bukan solusi yang nyaman di beberapa tempat lain dan bagi beberapa orang. Rencana relokasi juga menjadi pemikiran pemerintah untuk mengamankan sempadan pantai dari permukiman padat sehingga kemungkinan tsunami di masa mendatang, walaupun itu puluhan hingga ratusan tahun lagi mungkin terjadi lagi, bisa berkurang efek kerusakannya.
Yang penting memang, apapun modelnya, sedekat mungkin itu merupakan kebutuhan dan keinginan masyarakat lokalnya. Tidak bisa disamakan untuk setiap daerah. Model satu mungkin tepat untuk daerah A, tapi daerah B mungkin butuh yang lain. Masalah kemubaziran, bisa diakali bukan? Yang penting masyarakat diikutsertakan mengambil bagian, tidak hanya dalam hal tenaga bantuan untuk konstruksi, tapi juga ide-ide pengembangannya, mungkin rakyat aceh punya ide-ide yang brilian dalam perbaikan model2 yang ada, entah itu escape hill, barak, tata ruang relokasi, zoning regulation-nya, tipe land use daerah hijaunya, maupun hal-hal detail lainnya seperti fasilitas seni budaya, museum, maupun fungsi sosbud lainnya. Ya, yang penting, kalau mengutip orang bilang, modelnya harus
as local as possible lah,...
Karena kita harus percaya, lagipula buat kita yang tidak pernah menginjak tanah di sana, atau sekedar beberapa hari di sana, bahwa yang terutama itu semangat "semua untuk Aceh" dan dalam perjalanan prosesnya semuanya patut bekerja sama menyelesaikan segala permasalahan dan aral yang ada. Kalau tidak, gak akan maju-maju, tapi malah ragu-ragu cenderung curiga dengan pemikiran kritis yang
mbulett, tidak menyelesaikan masalah dengan cepat, tanggap dan kena sasaran.
Labels: Aceh
===>>> Digores oleh: dwiAgus di | @ 4:04 PM
| |
<<< === === >>>