back to sunday school
Posted on Monday, February 07, 2005
Beberapa waktu belakangan ini setiap rabu aku ikut katekisasi di GKI Panglima Polim. Belajar alkitab lagi. Bersama dengan beberapa abg mahasiswa dan sma yang entah punya berbagai motivasi yang beragam.
Kebetulan pendeta yang mengajar itu cukup galak. Ibu Pendeta Lily. Dan entah, aku lama-lama merasa gak sreg dengan beliau, karena pasti pada setiap pertemuan beliau akan menghabiskan hampir setengah jam mengingatkan kembali ke anak-anak katekisasi betapa pentingnya katekisasi ini, betapa pentingnya membuka alkitab, dan bahwa ini semua untuk kami semua. Tentunya dengan sedikit penekanan, karena beliau kelihatan kecewa, gemes, atau marah, melihat kami yang kelihatannya masih mentah, gak tau apa-apa, memalukan karena jarang buka alkitab, tidak antusias, males2an, gak serius dan lain-lain lah.
Pada suatu kesempatan, beliau menanyakan pertanyaan "siapa aja hakim-hakim dan raja-raja untuk bangsa Israel dalam perjanjian lama?". Semua diam. Pertanyaan kedua, "siapa hakim perempuan pertama waktu itu?". Kasak kusuk sebentar tapi tak ada jawaban. Beliau menjadi gemas dan kesal. Setelah bilang kalau kami semua ini memalukan, dan kalah dengan anak-anak kecil peserta sekolah minggu, akhirnya jadi PR, di tambah dengan kewajiban untuk jadi peserta sekolah minggu untuk minggu itu. Kebayang, kita yang sudah berkumis dan berjakun (untuk yang pria), yang sudah berlipstik dan berpupur bedak wangi (untuk yang wanita), harus bergabung duduk manis bersama anak-anak kelas SD itu.
Rasa gengsi merasuk hati kala itu. Saya nggak ngerti. Maksudnya apa. Gak ada hubungannnya antara ketidaktahuan kita akan hakim-hakim dan raja-raja dengan kebutuhan kita untuk belajar bersama anak-anak SD ituh. Cuma bikin malu kita. Jadinya aku cuman bilang ke ke klaudia, "gak mau ah. ngapain pula ke sekolah minggu". Dan akhirnya aku gak datang lah ke sekolah minggu.
Rabu berikutnya, pengecekan oleh Ibu Pendeta Lily. Dan ditemukan beberapa orang tidak mengerjakan PR tentang raja-raja dan hakim-hakim itu. Termasuk aku. Dan juga beberapa orang tidak dateng ke sekolah minggu. Kesal, marah, dan gemas, Ibu Pendeta akhirnya menghabiskan waktu sekitar setengah jam lebih untuk memarahi kami, dan akhirnya bilang kalau beliau akan menerapkan hukuman progresif bertumpuk2 untuk yang tidak melakukan perintahnya. Dia menyuruh kami ikut PA Pemuda pada hari kamis sebagai tugas pertama dan tugas keduanya, tetap menyuruh kami, yang belom ke sekolah minggu waktu itu, untuk hadir ke sekolah minggu, di minggu berikutnya.
Akhirnya aku dengan sedikit bengong, dan gondok, sedikit memikirkan, mungkin beliau punya alasan tertentu kenapa harus marah, dan ngotot untuk menyuruh kami ke sekolah minggu. Okeh. AKu jabanin deh.
Tugas pertama, datang ke PA Pemuda hari kamis, itu gampang, dan lumayan menyenangkan.
Tugas ke dua, hari minggu kemarin, akhrnya kupaksakan kakiku melangkah ke sekolah minggu dan bergabung ke kelas anak SD kelas 5. Melihat mereka ribut ketika gurunya menerangkan sesuatu, melihat mereka malu-malu ketika disuruh memimpin doa, melihat mereka sibuk bernyanyi walaupun banyak yang gak serius nyanyinya, dan yang bandel-bandel mencoba cari perhatian. Akhirnya aku juga diperkenalkan ke mereka dan dinyanyikan lagu selamat datang ke sekolah minggu. Ngawasin mereka juga ketika mereka disuruh buat surat masing-masing ke anak-anak di Aceh yang sekarang selalu menjadi teman mereka.
Ternyata menyenangkan juga. Kedongkolan hati karena gengsi mendadak hilang ketika duduk di antara mereka. Rasa enggan dan malu tak terasa setelah merasakan sukacita mereka. Akhirnya, aku cuman berpikir, kalau aku memang harus belajar rendah hati dari mereka. Tak ada yang perlu ditakuti, kalau kita punya hati seperti mereka.
Labels: isme, sekolah
===>>> Digores oleh: dwiAgus di | @ 6:06 PM
| |
<<< === === >>>