pemda, pasar dan masyarakat
Posted on Tuesday, February 20, 2007
Dari sebuah hotel sederhana di ujung kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur, menuju bandara KLIA, berdesak-desakkanlah saya bersama bos saya, beserta seorang pejabat dari Singapore, dan seorang pejabat lagi dari Viet Nam, di dalam sebuah mobil agak mewah yang mentransfer kami dari hotel ke bandara. Percakapan pun kesana kemari sampai tiba pada topik banjir besar di Jakarta yang sebenarnya agak memalukan buat saya, karena dulu kota Jakarta yang sangat dibangga-banggakan oleh para negara tetangga di asia karena kemegahannya setara dengan kota-kota di seberang samudera pasifik sana, tapi sekarang seolah tak berdaya seperti seroang lansia yang bahkan tak mampu mandi dan sikat gigi. Yah, Jakarta seolah seperti lorong kumuh di asia tenggara yang tersembunyi diapit kawasan mewah bernama australia dan malaysia serta singapura. Sang sopir dengan lancar membanggakan hebatnya malaysia dan singapura dengan segala sistem transportasinya dan infrastrukturnya yang menjamin kenyamanan para warganya. Tak seperti di Jakarta yang begitu sibuk memikirkan bangunan, bangunan, bangunan, yang mencakar-cakar langit dan pada akhirnya lupa, mereka butuh sistem transportasi yang handal dan sistem drainase yang mantap.
Itu semua karena banjir. Fenomena alam katanya, yang terulang skenarionya setiap enam atau lima tahun (atau empat tahun pada pengulangan berikutnya, jadi waspadalah).
Ada benarnya kata sang sopir. Ibaratnya ketika kita ingin membentuk patung manusia, kita lupa bikin kerangkanya. Bisakah kita membayangkan seorang manusia tanpa kerangka. Dan ketika baru keinget untuk bikin tulang kerangka, maka dibikinlah kerangka ulang itu, dan dimasukkan secara paksa ke dalam tumpukan daging-daging yang sudah terbentuk. Tapi ya begitulah, Jakarta begitu sibuk membentuk dan membiarkan daging-daging terus bertumbuh sehingga lupa membangun dan membentuk tulang kerangka yang sehat. Jadinya Jakarta seperti ABG yang obesitasnya tinggi, tak mampu bergerak dan menjadi sarang penyakit.
Infrastruktur kota adalah tulang kerangka bagi kota, yang sangat menentukan bentuk dan wajah kota. Tapi kadang kita menyempitkan arti infrastruktur kota sebatas: jalan-jalan dan gedung gedung saja. Pada akhirnya infrastruktur yang terlalu berorientasi pada jalan mendorong kita pada sistem transportasi yang tidak efisien, dengan jalan-jalan yang penuh kendaraan karena kemudahan pembelian kendaraan dan subsidi bahan bakar. Akhirnya tak pernah terlintas pikiran untuk membuat sistem transportasi yang handal, apalagi sistem drainase yang mantap.
Dulu sering ada proyek-proyek urban infrastructure development, tapi sifatnya yang tidak menyeluruh dan tidak sistematik, jadinya cuma sekedar kosmetika perkotaan yang begitu mudah larut ketika tercuci air banjir. Yang diutak-atik hanya jalan dan jalan, dan juga bangunan-bangunan perumahan. Lupa ada komponen lain yang namanya drainase, jaringan transportasi rel atau subway, jalur hijau dll.
Mungkin memang harus ada banjir-banjir dahsyat yang harus membangunkan mereka yang punya kuasa bahwa sudah sepatutnya segera memulai perencanaan perkotaan yang peka terhadap daerah aliran sungai, daerah terbuka hijau, dan siklus aliran air. Istilahnya
water sensitive urban design, seperti yang dilakukan di Australia, begitu kata salah satu
pengajar UGM, pemerhati urban design.
Sama seperti Belanda, yang harus mengalami
banjir besar di daerah selatan (Zuid-Holland) di tahun 1953 yang memakan banyak korban dan kerugian, sehingga keluarlah
Delta Project. Mungkin Jakarta memang harus tenggelam dulu untuk berakrab-ria dengan air.
"Negara hilang. Banjir terbilang". Begitu kata Goenawan Muhammad (GM) di catatan pinggirnya di majalah Tempo minggu lalu. Kegemasan yang dirasakan semua ketika sebuah insitusi bernama Negara, dalam hal ini Pemda, seperti hilang lenyap, seperti makhluk halus atau makhluk takhyul, dalam situasi-situasi seperti ini. Kemana saja memang pemda bertahun-tahun ini.
Bahkan di komplek perumahan tempat tinggalku, ketika mengetahui kejadian banjir diakibatkan karena tak ada pengendalian dan pemeliharaan jalur selokan aliran air akibat bangunan liar di perkampungan sebelah, pemda tak bisa apa-apa sehingga memang harus masyarakat sendiri yang lebih proaktif.
Tapi tunggu dulu, pemda tak selamanya takhyul. Dia akan muncul ketika membereskan kaki lima, mengusir anak jalanan di perempatan jalan, menggusur permukiman liar di tanah negara dan tanah milik konglomerat celaka, mengatur perijinan mendirikan bangunan dan sertifikat tanah, serta pajak-pajaknya.
Tapi memang terlihat pemda sudah lumpuh, kalah oleh sebuah tangan tak kelihatan bernama
pasar. Tak mampu membebaskan tanah untuk banjir kanal timur, tak mampu membereskan jalur hijau, tak mampu mengembalikan situ dan empang yang teruruk dan digusur pusat perbelanjaan dan apartemen, tak mampu memperbaiki aliran sungai utama dan gorong-gorong dan selokan-selokan yang melintas tengah kota.
Entah mengapa pemda jadi begitu mudah untuk disalahkan, walaupun sebenarnya tanpa pemda justru tambah lebih buruk. Toh, mungkin benar kata teman, Pemda itu cerminan masyarakatnya. Jadi bukan salah pemda seluruhnya. Dan mungkin memang harus tangan-tangan tak kelihatan bernama pasar dan tangan-tangan tak kelihatan bernama pemda, harus berhadapan dengan tangan-tangan terkepal mereka yang gemas, marah, dan tak sabar (meminjam istilah GM).
Labels: banjir, kota, land development, transportasi
===>>> Digores oleh: dwiAgus di | @ 11:59 AM
| |
<<< === === >>>