bis kota dan sky train
Posted on Thursday, April 05, 2007
Bis Kota
Ijinkan saya bernostalgia dengan bis kota. Ada beberapa fase dalam hidup saya berkaitan dengan bis kota di Jakarta ( dan di Bandung).
Fase pertama ketika masih kelas 6 SD, harus pindah rumah ke agak pinggiran barat kota jakarta (di Meruya tepatnya) sedangkan sekolah ada di sebelah selatan jakarta (tepatnya di daerah Barito, Blok M). Sejak pindah itu, dari kelas 6 SD, sampai SMP (yang lokasinya berdekatan dengan SD saya) saya harus bangun pagi-pagi sekali bersiap-siap ntuk naik bis Metromini nomor 618 jurusan Meruya-Blok M, yang butuh sekitar 30-60 menit dari depan rumah saya ke daerah Mayestik tempat saya turun dan kemudian melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan jalan kaki. Begitu seterusnya sampai lulus SMP. Ketika SMA, rute berubah. Turun di Blok-M untuk lanjut naik Kopaja ke daerah Prapanca. Atau naik mikrolet ke arah Slipi untuk lanjut naik Kopaja ke arah Prapanca.
Kala itu terasa menyenangkan naik bis. Masih menikmati daerah penuh pohon di daerah petukangan, belum banyak kemacetan, dan tentunya masih murah meriah. Ketika SD masih dengan ongkos gocap sampai ketika SMA dengan ongkos gopek. Dulu juga jarang banget ada pengamen di dalam bis kota. Walaupun kadang masih berdesakan, tak perlu diganggu pedagang asongan dan pengamen. Masalahnya mungkin hanya satu, teman saya jadi malas main atau mampir ke rumah, karena jauh perjalanan. Saya pun juga sering kerepotan kalau pulang sore/malam, karena sering banget maen ke rumah teman sampe sore bahkan sampai malam, sedangkan angkutan umum sudah arang kalau menjelang malam.
Fase kedua, ketika kuliah di Bandung, sayapun harus bergelut dengan bis kota, karena mata kuliah Studio Transportasi, saya harus meimpin teman-teman survei beberapa bis kota. Kemudian, skripsi pun mengambil tema pelayanan Bis DAMRI. Jadi, ketika survei lapangan saya harus naik turun beberapa bis kota mewawancarai beberapa penumpang dan sopir bis sebagai responden.
Kala itu terasa berkesan juga bersentuhan dengan kehidupan para supir bis itu. Tapi sedikit gemas dengan perusahaan bis Damri yang dikelola tidak profesional, jadinya nasibnya senin-kemis. Bandung memang gak cocok dengan bis. Cocoknya dengan angkot-angkot.
Fase ketiga, ketika lulus kuliah, harus kembali ke Jakarta, untuk bekerja. Berangkat dan pulang kantor pun harus pake angkutan umu. Kali ini kombinasi mikrolet dengan bis kota PPD yang ada AC-nya bernomor B2 Jurusan Grogol-Pasar Baru, yang menurut saya bis kota ber-AC yang kualitas terbaik di seluruh Jakarta.
Kala itu, saya pikir, memang enak kalau naik PPD AC nomor B2 ini, karena AC-nya dingin, tidak terlalu sumpek berjejalan penumpang, bebas copet dan bau keringat, walaupun harus mengeluarkan ongkos yang lumayan besar dan menunggu dengan sabar (karena agak jarang), tapi bisa sedikit menikmati dengan nyaman.
Pada saat itu pula, ketika usai masa reformasi, tiba-tiba semakin marak pengamen, peminta-minta, dan pedagang asongan yang naik bis kota. Pengamen yang bermodalkan kecrekan tutup botol, galon aqua, gitar, uku lele, dan juga ada yang ber-ensamble dengan biola dan drum senar kecil. Ada yang bersuara pas-pasan dan ada pula yang bersuara emas. Peminta-minta mulai dari yang masih balita sampai yang renta, dari yang lumpuh cacat sampai yang remaja segar bugar, dari yang meminta dengan santun (meminta sumbangan) sampai dengan yang menggunakan puisi (dulu banyak pembaca-pembaca pisi berkelana di biskota, hebat ya) ataupun ancaman (ereka yang mengaku baru keluar dari penjara dan butuh ongkos pulang kampung atau buat usaha. Serem gak sih). Pedagang asongan, dari minuman, asesoris , tisu, makanan, obeng, kamus, buku2 saku rohani, dll.
Fase keempat, ketika sekarang ini, dengan sebuah kegiatan saya untuk memantau sebuah usaha, jadinya saya untuk da hari dalam seminggu harus naik busway ke tengah kota dan pulang naik metromoni dan kopaja.
Naik busway memang menyenangkan. Waktu tempuh bisa diperpendek melintasi kemacetan di jalan-jalan utama Jakarta. Namun kalau di
peak hour,
after office hour, sekarang sudah tak tertoleransi tingkat kepadatannya di halte-haltenya. Kalau dibandingkan dengan bis kota macam metromini dan kopaja, memang seperti
brad pitt dan
tukul. Kalau di metromini, memang harus kuat fisik dan mental. Kuat fisik teruttama menahan panas dan pegal, baik berdiri maupun duduk. Kuat mental karena supirnya yang menggemaskan ketika mengendarai bisnya, atau kuat mental ketika melihat aksi copet di depan mata. Ketika istri saya naik bis (waktu mobil kami harus masuk bengkel berminggu-minggu karena terendam banjir), lucu juga melihat reaksi dia ketika dia merasakan sensasi naik metromini yang panas, dan dihiasi berbagai macam penumpang, pengamen,dan awak metromininya, yang kadang mengundang kesal, tawa, senyum dan keheranan.
Maka wajar lah, bis kota macam metromini dan kopaja, dan bis-bis besar lainnya, menjadi angkutan kelas bawah. Karena memang yang ditawarkan adalah kualitas kelas bawah. Dengan ongkos tarif yang murah, apa yang mau diharapkan. Kalau keadaan bis kota kelas menengah ke bawah ini tidak ada perubahan sekali dan hanya mengandalkan busway, ya jangan harap ada perubahan pergeseran penggunaan kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Sky Train
Sekarang mari kita tinggalkan Jakarta yang sedang menggodok mimpinya untuk memiliki subway dan monorail yang entah kapan bisa diwujudkan, dan ijinkan saya mengajak anda sedikit melongok ke kota Bangkok yang warganya sudah bisa menikmati
SkyTrain, sebuah angkutan
mass rapid transit yang menggunakan monorail , dan bahkan mereka sedang membangun jaringan skytrain baru yang menghubungkan tengah kotanya dengan bandara mereka yang baru saja beroperasi,
Suvarnabhumi International Airport.
Akhirnya, saya pun berkesempatan pula mencoba naik
skytrain ini. Kalau dibandingkan dengan busway Jakarta, dalam hal kenyamanan beda-beda tipislah, walaupun tetap saja kenyamanan dalam menunggu
skytrain di masa
peak hour masih di atas tingkat kenyaman menunggu busway Transjakarta di halte-haltenya. Tapi kalau bicara secara keseluruhan soal keandalannya, busway butuh banyak perbaikan. Sebagai angkutan mass rapid transit,
skytrain ini sangat diandalkan, karena kemampuan daya tampungnya y
ang lebih massal, waktu tempuhnya yang lebih cepat dan waktu tunggunya yang lebih pendek karena frekwensi kedatangan yang lumayan tinggi. Pelayanan penjualan tiketnya yang menggunakan mesin, juga sangat efektif dan efisien. Ini meunjukkan adanya sistem transportasi masal dan cepat yang modern seperti di negara-negara maju yang sudah diterapkan di Bangkok ini.
Sebuah tantangan bagi Jakarta tentunya, yang sementara ini baru bisa susah payah dan tergopoh gopoh dengan busway yang memiliki koridor-koridor pelayanan yang mestinya bisa melayani banyak orang dengan tingkat kenyamanan dan keandalan yang sekarang masih terus keteteran. Kita lihat saja, apakah pemda DKI bisa merawatnya dan meningkatkan kinerja pelayanannya.
Labels: kota, transportasi
===>>> Digores oleh: dwiAgus di | @ 9:47 AM
| |
<<< === === >>>