kekuasaan dan kegilaan alaTeater Koma
Posted on Wednesday, March 16, 2005
"...power tends to corrupt; absolut power corrupts absolutely." -- Lord Acton, 1887 -- Kekuasaan cenderung untuk korup; dan kekuasaan yang mutlak itu pastinya korup secara mutlak pula. Begitu kata Lord Acton, tahun 1887. Dan pada tahun 1978 , Teater Koma menyirami benih kutipan Lord Acton tersebut dalam "Maaf! Maaf! Maaf!", lakon yang akhirnya pada waktu itu dicekal oleh pemerintah Orde Baru dengan alasan klise, mengganggu situasi politik dan pemerintahan yang dianggap sudah kondusif. Namun akhirnya, lakon ini kembali dipentaskan selama dua minggu kemarin mulai dari tanggal dua maret sampai tanggal lima belas kemarin. Di hari terakhir, kemarin, itulah, kami sempatkan diri nonton.
Kekonsistenan Teater Koma yang patut diacungkan jempotl tak hanya dalam hal rutinitas pementasannya tiap tahun tapi juga dalam hal warna pentas teater koma yang khas yang menunjukkan kualitas, dengan ringan sederhana, bermakna dan penuh canda.
Cerita
Maaf! Maaf! Maaf! ini intinya tentang seseorang yang mempunyai istana megah yang ketika sedang bersemadi dia merasa diberi wahyu untuk menjadi raja diraja untuk sebuah kerajaan bernama Alang-Alang Langka, menjadi titisan Sang Raja Dasamuka. Merasa menjadi kaisar dengan kekuasaan yang mutlak dan tak terganggu gugat. Merasa menjadi bapak pembangunan yang welas asih dan penuh peduli. Dan kegilaan beliau pun mulai. Berputar di istana megahnya. Kegilaan dan kekuasaan itu pula yang membawa seluruh anggota keluarga bermain sandiwara. Memuaskan pertumbuhan kegilaan sang tuan rumah. Sehingga kegilaan itu menjadi-jadi karena ketakutan yang tak pasti kalau apa yang dipunya, apa yang dibanggakannya, sirna, mati dan tak diakui. Sang anak yang ingin membantu menyembuhkan kegilaan ayahnya harus berhadapan dengan ibunya, tantenya, dan pembantunya, yang ingin menyenangkan hati sang tuan rumah. Pilihannya ada dua. Satu, terus bermain sandiwara sampai lakonnya mati dengan kegilaan yang abadi, atau, dua, masukkan tuan rumah ke rumah sakit jiwa sebelum semuanya ikut sakit jiwa,sebelum istana berubah jadi rumah untuk orang sakit jiwa.
Simbol-simbol bahasa, lagu dan gerak dalam "Maaf! Maaf! Maaf!" ini, mengingatkan kita pada situasi negara dengan raja dan pemerintahannya yang berkekuasaan mutlak nan otoriter. Kekuasaan memang cenderung untuk korup, dan tidak hanya ia mengkorup secara material dan fisikal, tapi juga spiritual --it also corrupts souls--. Maka tak heran kita bakal menemukan kedekatan yang erat antara kekuasaan dan kegilaan, seperti Nimrod, Nero, Caligula, Hitler, Moussollini, Idi Amin,
Soeharto,
George W. Bush atau yang lainnya. Dan kegilaan itu menjadi mutlak ketika kekuasaan itu mutlak.
Ketika kegilaan sang penguasa, sang tuan rumah, menjadi nyata, salahkah bila kemudian para anggota keluarga kemudian bersandiwara dan mengambil perannya masing-masing dalam sandiwara itu untuk menyenangkan hati sang penguasa, oleh karena cinta, oleh karena hormat dan bangga, oleh karena setia, juga oleh karena dengan ikut bermain sandiwara, itu akan menyelamatkan kepalanya. Seperti bercermin pada apa yang mungkin akan
terjadi terulang di negara tempat tinggal kita. Ketika sang penguasa korup di jiwanya karena kuasa, akankah para penghuni negara malah turut bersandiwara memanjakan kegilaannya, atau mereka justru mencoba menyehatkannya. Dan kalau memang itu
terjadi terulang di negara tempat tinggal kita, aku pengennya para penghuni negara ini mencoba membantu menyehatkannya dari kegilaan, sebelum roh kegilaan itu sendiri menelusup ke lorong-lorong kehidupan negara ini, dan menjadikan negara ini menjadi rumah bagi masyarakat yang sakit jiwanya tertular oleh penguasa. Seperti thesisnya si "Oneng" Rieke Dyah Pitaloka, "Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat", mungkin bisa jadi bahan thesis: "Kegilaan Penguasa Negara Menular ke Masyarakat". Maka dari itu, waspadalah dengan penguasa yang sudah menunjukkan gejala korupsi kejiwaannya. Itu bisa menular.
Labels: review, teater
===>>> Digores oleh: dwiAgus di | @ 9:58 AM
| |
<<< === === >>>