Bapakku
Posted on Sunday, June 12, 2005
Sejak SD (mungkin sejak kelas 3-4 SD barangkali yah, aku juga gak ingat) sampai SMA, aku gak pernah minta dijemput bapak atau mamak kalau pulang sekolah. Pulang sekolah yah pulang ajah, jalan kaki (waktu rumah masih di Gang Bungur, Kebayoran Lama) atau naek bus (setelah di Meruya), kecuali suatu kali saat SMA, sekali minta dijemput, karena waktu itu aku lagi sakit perut berat, tapi nekat ke sekolah. Alhasil, pulang sekolah, lemas tak bertenaga dan akhirnya minta dijemput. Bapakku sendiri yang njemput, pake mobil Datsun kotak yang butut. Dan aku langsung tidur di jok belakang, sekalian ngumpet, malu ... Entah malu takut kalaow ketauan udah gede kok masih dijemput, atau malu karena mobil butut yang dibawa bapakku gak semewah mobil teman2ku yang lainnya waktu itu.
Dari kecil memang aku suka seenaknya, dan selalu pengen mandiri,... Sampei sekarang pun begitu. Kadang suka-sukanya sendiri dan gak mau diikut-campuri oleh siapapun, tidak terkecuali mamak dan bapakku. Waktu kecil suka maen-maen sendiri, keluar rumah maen berbagai macam permainan di lapangan di rumah, berjam-jam tanpa peduli, mamak atau bapak mencari atau gak. Gak peduli...
Waktu SMP pun juga begitu, suka pulang malam, dan gak perduli. Pikirku selalu: “Ah gak dicariin ini”. Dan yang lebih menguntungkan lagi, di rumah belum pasang telpon kala itu. Bahkan sampai SMA pun rumah belum ada telp. Jadi gak pernah tuh bilang-bilang dulu kalau mau pulang malam. Yah, cuek ajah, .. kalow mau maen pulang sekolah, yah maen ajah. Kalow mau sampe malem, sampe jam 7 atau jam 9, yah ayuk ajah. Dan aku asik dengan duniaku sendiri.
Apa itu namanya membangun kemandirian? Gak terlihat yah. Kelihatannya malah aku, seorang anak badung yang egois, mau asik sendiri, gak perduli, bahkan ama keluarga sendiri. Mencoba asik dengan dunianya sendiri. Dan hanya di kala sedang butuh saja kembali keluarga jadi tempat meminta.
Jadinya gemanah? Suam-suam kuku.
Iyah, suam-suam kuku, hangat-hangat bubur ayam. Aku dengan adikku laki laki, sudah seperti dua sepupu jauh. Dengan kakakku perempuan, hangat sih hangat, tapi tak merekat. Kaku semuanya kaku, kadang tak terjadi aliran komunikasi perasaan antar kami. Iyah, kaku dan suam-suam kuku.
Kusadar, bahwa sesuatu yang berharga sebenarnya bisa aku bangun dari awal, aku bisa seperti mereka yang punya kedekatan yang erat dalam keluarga. Kadang kulihat beberapa temanku, punya sebuah kehangatan keluarga yang meresap.
Kadang ada sedikit kecewa, bercampur sesal dengan pertanyaan kenapa mesti begitu. Padahal jawabannya ku tahu: Aku yang tak pernah menghargai adanya mereka yang sebenarnya sesuatu yang berharga yang harus dipelihara dan dijaga.
Sesal dan kecewa tak ada guna, ku sadar suatu hari, waktu itu.
Dan selalu ada waktu buat semua orang untuk lebih baik dan lebih baik lagi. Dan tak ada kata terlambat untuk mulai menghargai apa yang telah kita miliki sejak awal.
Mungkin ada yang salah yang telah terjadi, tapi yang salah itu selalu dapat dimaafkan dan dibenarkan. Selalu. Dan cuman DIA yang bisa membuatku sekarang melihat adikku dengan penuh kasih, dan takut kehilangan. Cuman DIA lah yang membantu aku melihat kakak perempuanku dengan beda dan penuh cinta. Cuman DIA yang mengubah aku melihat mamakku seperti melihat permata tak ternilai harganya. Dan hanya DIA lah yang menjadikan aku melihat Bapakku, seperti seorang jagoan yang patut ku bangga. Hmmm... Bapakku seorang jagoan yang patut kubangga? Apa gak berlebihan?
Dulu yang kulihat dari bapakku cuman dua: ke-sok tau-annya, dan ke-keras kepala-annya. Ada juga yang lainnya: ke-sok lucuan-nya, ke-sok-baik-annya, ke-sok asik-annya, ke-sok-akrab-annnya ke orang lain, ke-sok populer-annya, dan lain-lain.
Betapa bapakku suka mencomot-comot info dari manapun itu dan membaginya ke orang lain dan dengan naïf dan polosnya bereaksi dan berkomentar yang mungkin kelihatan aneh dan sok tau. Betapa bapakku itu suka sekali berpendirian teguh, susah kali untuk dibawa ke sisi lain. Betapa bapakku itu suka sekali ngelucu-ngelucu di tempat banyak orang ngumpul. Betapa bapakku itu suka sekali berbaik-baik sama orang yang kadang membuat mamak sendiri jadi senewen. Betapa bapakku itu suka sok asik, suka ikut-ikutan macam-macam dan suka beda sendiri biar kesannya asik. Betapa bapakku itu suka sekali jadi pusat perhatian orang kalow di tempat di merasa nyaman.
Hmmm,... Kenapa aku dulu melihat semua tersebut di atas itu sebagai sesuatu yang jelek yah? Apalagi kalau bapakku itu ada ditempat orang dan suka bercerita apapun tentang aku dan membangga-banggakan aku, ini lah, itu lah, yang kadang membuatku risi, senewen dan kesal dan jadi malu sendiri.
Tapi bukankah itu normal? Lagian, lihat, semuanya itu juga ada dalam diriku. Ya, dan aku seharusnya bangga bisa mewarisi smuanya itu dari dia, karena dia jugalah yang membentuk aku seperti sekarang ini.
Lucu yah, padahal di luar sana, banyak orang yang gak seberuntung aku punya bapak seperti dia. Yang mau kerja keras, gak tau dapat duit dari mana bersama-sama dengan mamak, sebagai pegawai negeri golongan kecil dan bisa mbayarin aku sekolah di swasta dari SD, trus pas kuliah mbayarin kos dan bayarin uang semesteran sampai lulus kuliah (untung kuliah di Negeri, kalow gak, gak kebayang deh...) Yang mau ngerelain semuanya untuk anaknya, nabung, berhemat, mengencangkan ikat pinggang super ketat, gak pernah belanja macam-macam, bahkan jarang beli baju dan pakaian dalam buat dirinya sendiri atau buat mamak.
Yang dipikirinnya cuman orang lain, apalagi aku. Yang rela njemput sekolah kalow sakit waktu SMA. Yang rela ke Bandung waktu aku bandel dan nekat kuliah padahal masih belum sehat betul dari hepatitis, njenguk sebentar di tempat kos malam-malam dan langsung balik esok paginya. Yang mau ke bandung waktu wisudaan. Yang rela aku bawa nyasar ke cimahi waktu aku sok tau jalan pulang dari bandung ke Jakarta. Yang selalu sabar kalaow aku debat-debat dan sedikit omel-omelin.
Hmmm.. betapa beruntungnya ya?
Bapakku memang bukan bapak yang sempurna. Tapi dia telah menjadi alatNYA membentuk aku menjadi aku yang seprti sekarang ini. Bapakku telah ambil bagian dalam pekerjaanNYA sebgai tukang periuk yang membuat seonggok tanah liat jelek dan gak berguna jadi periuk yang indah dan semakin diperindah lagi olehNya…
Makasih, ya, Bapakku.
Maafkan agus belum sempat bilang terima kasih banyak. Tapi agus tau kalau bapak selalu sayang agus dan bapak pun sekarang tahu betapa beruntungnya agus, dan betapa sayangnya agus sama bapak.
Maafkan juga agus yang kebanyakan cengengas-cengenges. Maafkan juga karena belum sempat mengajak bapak dan mamak nonton Ketoprak Humor di GKJ.
Maafkan agus ya, bapakku.
12 June 2005, stuck in Bangkok,
waiting for the earliest flight in the next morning to Jakarta.
Labels: keluarga, personal
===>>> Digores oleh: dwiAgus di | @ 9:02 PM
| |
<<< === === >>>