:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




janji pemerintah dan kesadaran sang "penadah"

Posted on Friday, May 06, 2005

Di suatu pagi aku membaca artikel Romo B. Herry-Priyono, seorang romo yang seiring perjalanan telah menjadi filsuf-ekonom yang aku suka artikel-artikelnya. Kali ini, arikelnya tentang sedikit dari semesta permasalahan pendidikan yang rumit di Indonesia. Sedikit tapi buatku penting sekali.

Sering aku melihat berita dan gambar tentang kondisi beberapa sekolah-sekolah di Indonesia yang rusak, hampir roboh, mengenaskan situasi belajarnya. Mulai dari yang ada di pelosok pedalaman kalimantan, dan sumatera, sampai yang ada di tengah ibukota, karena siap digusur, dan yang di pinggiran kota. Dan statistik pun sudah bicara, untuk SD dan SMP lebih dari setengah jumlah kelas di negara kita ini, keadaanya RUSAK.

Berita dan gambar-gambar itu pun akan diselingi dengan ungkapan prihatin beberapa pejabat, mulai dari para pengamat pendidikan, simpatisan politik, dirjen di depdiknas, sampai SBY sendiri yang bilang, menyedihkan krn menyadari negara ini masih tidak bisa menjalankan amanat konstitusinya di bidang pendidikan. Dan simpati-simpati juga disertai janji-janji yang untuk selanjutnya menjadi mentah dan roboh. Janji-janji yang tak berjalan karena berujung pada pengingkaran. Pengingkaran yang disebabkan sebuah pengandaian bahwa pemerintah punya duit segudang untuk mewujudkan janjinya itu.

Janganlah kita terlalu berharap menunggu alokasi dana pendidikan menjadi 20% dari APBN sesuai dengan amanat konstitusi. Karena pendidikan sudah jadi prioritas sekian setelah anggaran untuk perbaikan ekonomi di sektor riil, ekonomi dan bisnis. Dan jangan terlalu berharap dengan upaya pemberantasan korupsi yang menghambat pemanfaatan optimal dana pendidikan yang ada. Dan jangan terlalu berharap dengan perbaikan kurikulum, dan masalah kualitas pendidikan lainnya. Tapi memang harus dimulai dengan sebuah entri. Bangun sekolah yang layak.

Ketika anggaran negara terlalu kering untuk bangun sekolah yang layak, mungkin memang skarang saatnya untuk tak tergantung dengan APBN dan cari alternatip sumber lain.
Bagaimana dengan sumberdaya alam kita? Industri sumber-sumber daya alam itu mungkin bisa dicari kemungkinan kontribusinya dari prosentasi hasil bagi ataupun hasil olahannya.
Tapi yang menarik adalah, kalau kita simak lagi, siapa sih sebenarnya yang menampung produk pendidikan ini? Kita akhirnya harus mengakui bahwa sektor swasta lah yang menikmatinya, dalam bentuk buruhnya, teknisi, dan kaum berdasi dan berhak tinggi-nya. Dan memang sungguh aneh, apabila mereka seperti lepas tangan dalam hal masalah pembangunan pendidikan di negara ini. Bisakah mereka-mereka, perusahaan-perusahaan besar yang hidup di negara ini, yang telah menyedot sebagian besar produk pendidikan negara ini, menyisihkan sekian prosentasi nett profitnya untuk ditaruh dalam pool bersama untuk biaya reparasi pendidikan nasional. Bukan seperti skema beasiswa karena itu sebuah skema manis yang belum "nendang". Tapi kontribusi yang masuk dalam sistemnya itu sendiri.

Bagaimana?
Terlihat seperti disinsentif. Seperti anti-free-trade dan globalisasi. Seperti tambahan beban kepada pajak yang telah dibayar. Tapi bukan itu masalahnya. Ini masalah kewajiban moral, rasa tanggung jawab dan terimakasih. Rasa kepemilikan bersama dan timbal balik. Bukan tambahan beban kepada pajak yang telah dibayar. Bukan beban kalau mau negosiasi. Lantas kita bisa bicara tax amnesti dan deregulasi. Toh selama ini swasta telah menikmati. Sektor bisnis swasta jangan jadi free-riders yang menggemukkan diri. Tapi biaralah anak-anak yang butuh sekolah lah yang jadi free-riders di negara ini.



Reference: "Robohnya Sekolah Kami", Kompas, 7 Mei 2005.

Labels:

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 11:05 AM | |

<<< === === >>>