:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

ARSIP AKBAR
KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




prejudice and pre-destine

Posted on Friday, January 28, 2005

beberapa waktu lalu aku nulis soal pre-labelisasi,.....
betapa mudahnya kadang kita melabel orang seperti apa yang tampak, dari penampilan fisik, non-fisik dan perilakunya. Padahal orang itu tidak bisa digambarkan secara sederhana seperti itu.

It's easier to talk about a person than to help a person. It's easier to debate homosexuality than to be a friend to a gay person. It's easier to discuss divorce than to help the divorced. It's easier to argue abortion than to support an orphanage. It's easier to complain about the welfare system than to help the poor. It's easier to label than to love. (Max Lucado) [link]

Seperti dalam film Bride and Prejudice yang aku tonton semalam. Sebuah film India, mungkin plesetan dari buku Pride and Prejudice yang terkenal itu (aku belom baca juga sih buku inih, hehehe). Film yang bercerita tentang dua orang dari latar belakang yang berbeda yang saling jatuh cinta tapi saling berbenturan dengan segala prasangka di kepala, dan akhirnya dengan sedikit keberuntungan dan kerja keras akhirnya bersatulah cinta mereka.

Ya, kita mengangguk stuju soal ini. Tak baik berprasangka. Dan tak baik punya sebuah kesimplan yang sangat terlalu dini terhadap orang yang kita tak kenal luar dalam.

Tapi beberapa pertanyaan muncul di kepalaku. Bagaimana pabila kita memang sudah kenal luar dalam seseorang. Tahu dengan pasti orang itu, cara berpikirnya, cara hidupnya sehari-hari, karena kita sudah beberapa lama bersama dia sehingga kita sudah cukup bisa bilang, "aku kenal dia kok." Bagaimana kalau kasusnya itu teman kita yang satu kontrakan rumah ama kita dan berinteraksi dekat dan intense dengan dia, melihat dia menghabiskan waktu secara sia-sia, melihat cara dia memandang hidup ini, melihat cara dia bangun dari tidur, dan cara dia berhadapan dengan orang lain, yang secara normal kita akan beri dia melabel dia. Alangkah baik bila kita melihatnya sebagai orang yang baik dengan atribut2 standardnya yang kita kenal. Tapi sebaliknya, kadang kita sering tak sabar untuk melabel orang yang kita kenal itu,-- entah itu teman dekat kita, teman kost kita, adik kandung kita, kakak kita, orang tua kita, kolega kita, bahkan partner hidup kita-- dengan label "looser", "useless", "far worse than me", "ke laut aja", "people with no future". Mungkin kita merasa bisa dan/atau berhak untuk itu, dengan melihat kondisi sekarang setelah kita mempelajari kesehariaanya, aspek dalamnya, dan sejarah masa lampaunya. Tapi tunggu dulu,.... itu kondisi sekarang, the present status, yang kita tarik kesimpulannya berdasarkan projeksi, kecenderungan trendnya, dan dengan asiknya mengekstrapolasikannya di titik T1, T2, T3 di masa depan. Kadang kita meng-ignore distorsi apa yang akan terjadi terhadap seseorang di rentang waku sekrang ke depan. Kita lupa, things change, so does people.


Begitulah yang terjadi dengan aku dan temanku. Seorang temanku yang di mataku sepertinya seorang yang gemanah gitu looh (hmmmm, maap, pake istilah ABG). Temanku yang bisa dibilang "looser" pada saat itu. Tidak jelas kerjaannya, dan kelihatannya seperti tidak ada gairah dan masa depan. Sampai suatu hari setelah lama tak bertemu, aku mendengar cerita tentang dia dari temanku yang lain, kalow dia sudah mulai punya pintu yang terbuka di depannya dan dia tinggal melangkah menuju sebuah kesuksesan yang terbayang pasti. Hmmm... kurang detail ya? Maksudnya dia ternyata berhasil menggali bakatnya dan menjual hasilnya itu ke orang lain dan akan banyak orang yang bakal menikmatinya.

Beberapa waktu lalu juga. Beberapa minggu lalu, aku ketemu seorang teman lama, teman dari SMA, yang terkenal badungnya luar biasa, veteran (pernah gak naek kelas, waktu dia kelas dua), and suddenly after few years, i met him in the church, melayani sebagai song leader. Penampilannya yang dulu agak gaya, belagu, sepa tak ada lagi di benakku. Yang ada cuman sorang teman yang bersahaja melayani di gereja.

Yah, begitulah, kadang kita begitu sok tau dengan melihat kondisi sekarang kita bisa melihat masa depan seorang bisa jadi apa. Padahal tidak sesederhana itu. Sekali lagi. Things change, so does people. Jadi, kalau melihat teman, adik kita, kakak kita, saudara kita, dan orang-orang deket di sekitar kita yang kelihatannya dalam kondisi sekarang yang membuat kita gatal untuk melabel mereka "orang payah" ("loak" kalau bahasa medannya, "looser" kalau bahasa jawanya), sabar dulu. Tunggu dulu, karena kita tidak akan tahu, dalam kurun waktu tahun, bulan, minggu ke depan, sesuatu bisa berubah. Walaupun kita sudah berusaha memberikan masukan, teguran dan bantuan yang menurut kita baik buat mereka dan seakan tidak ada hasilnya, maka mungkin tangan kita terlalu pendek untuk menjangkau atau mempengaruhi perubahan itu. Sebaliknya, mungkin orang lain yang punya tangan yang lebih panjang sedikit dan bertangan dingin, berperan dalam perubahan itu. Pun sebenarnya DIA yang bekerja membawa perubahan yang baik kepada orang yang dikasihinya dan yang sudah ditentukannya.

So, if something is out of our reach, just be patient. Nothing is ever impossible, with HIM who's living in us. A miracle is just a prayer away. We shouldn't give up easily to ones we loved, coz HE never give up on us also. And someday, through time, we would find the persons that we used to put down or undervalue, become great person which we have never been expecting before.

Labels:

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 7:08 PM | |

<<< === === >>>


iman, harapan, kasih

Posted on Tuesday, January 11, 2005

Aku baru re-read lagih buku Philip Yancey, "Di manakah Tuhan di saat Kita Menderita", buku yang aku gak tau gemana mengungkapinnya, because it's really a blessing....

Siapa sih manusia di antara kita yang ingin menderita. Siapa coba yang ingin merasakan sakit (pain). Pertanyaan klise yang jawabanya MUNGKIN adalah "tidak ada". Aku bilang MUNGKIN karena masih banyak orang yang menikmati penderitaan dan rasa sakit. Tanya saja ke penganut sado-machosist, atau para workahollic yang senang disiksa bosnya, ibu rumah tangga yang mebiarkan dirinya dijajah suaminya (atau sebaliknya). Banyak juga kok sebenernya dari kita yang di dalam hatinya itu mencari nikmatnya suffering and pain.

Apabila kita ingin tahu sebesar apa pentingnya rasa sakit itu dalam hidup kita, mungkin kita perlu tinggal beberapa minggu bersama para penderita lepra/kusta. Dan kita bisa tahu bahwa yang sangat fatal dari mereka itu sebenarnya bukan dari luka-lukanya, tapi dari sistem saraf mereka yang sudah tidak merasakan lagi apapun di kulit mereka. Sehingga mereka dengan tak sadar merusak bagian tubuhnya secara tidak sadar. Mereka kadang tak sadar lecet kakinya dari berdarah-berdarah sampai putus jarinya. Dan hal-hal sepele yang kadang mereka tak sadar telah merusak bagian tubuh mereka karena sudah tidak merasakan sakit lagi di kulitnya. Mereka mengangkat panci panas, tangan kaki kena paku, mbuka kunci dengan paksa, dan seterusnya yang pada akhirnya merusak jaringan tubuhnya.

Jadi, jangan meremehkan rasa sakit dan penderitaan. Karena itu sudah jadi bagian dari sebuah sistem peringatan dini yang bilang "hei, ada yang salah nih. hati-hati dengan tubuhmu." Begitu juga dengan apa yang terjadi di hidup kita. Sebuah sistem peringatan dini sudah di-install di dalam sistem kehidupan kita.

Mengenai penderitaan dan rasa sakit itu sendiri, ada dua komponen yang mengikutinya.
1. Penyebab, apa yang menyebabkan dan kenapa.
2. Reaksi, respon berupa aksi. Kalau menilik dari kata dasarnya, re-AKSI, ini perlu ada unsur sikap dan aksi, karena kalau merespon dengan sbuah pertanyaan ituh bukan reaksi namanya.

Dan biasanya kita pasti banyak mencari yang pertama. Penyebab dengan diikuti beribu pertanyaan. Kenapa? Kenapa saya? Apa yang sudah saya lakukan? Dimana kamu, Tuhan? Kenapa seberat ini, Tuhan? Kenapa sesakit ini? Siapa penyebabnya, Tuhankah atau siapa? dan berbagai pertanyaan lain yang seringnya kita tidak bisa mendapatkan jawabannya.
Maka wajar sekali apabila pada akhir-akhir ini kita mendapatkan orang lain dan diri kita juga sedang bergumul di ruang kepala, mencari-cari penyebab sambil bertanya-tanya: ada apa, Tuhan? Ada apa dengan Nabire, Alor, Aceh, Nias dan Palu yang kau goncangkan gempa? Kenapa dahsyat bencana itu? Kenapa Aceh yang Kau pilih tersapu tsunami? Kenapa banyak yang mati? Dan anak-anak kecil itu, kenapa mereka?
Hampir semua orang pasti seperti itu. Dan Larry King pun apabila punya kesempatan mengundang Tuhan di acara talkshow-nya, dia pun sudah punya list pertanyaan seperti itu. Maka itu ada orang yang membuat imaginery interview of Larry King with God .

Memang sih ada beberapa kejadian yang bisa kita pertanyakan sebab akibatnya, seperti banjir di jakarta ini. Kita bisa menemukan preliminery answernya kalow banjir jakarta disimpulkan disebabkan karena kebodohan Sutiyoso (maaf, personal) dan aparatnya dalam pengelolaan drainage di jakarta. Atau peristiwa tergelincirnya pesawat lion air sampai patah dua di Solo, ang tinggal mencari kotak hitam atau menggambar sketsa simulasi pendaratan dan menyalahkan cuaca dan kondisi landasaan. Kalau itu, bisa mungkin. Tapi sebaliknya, “kotak hitam” dan juga “kambing hitam” tidak ada ketika gempa bumi menggodam, ketika gelombang tsunami menghancurkan dusun dan kota dan pantainya, dan juga ketika banyak anak kecil mati atau hanyut bersama orangtuanya. Justru banyak peristiwa menyedihkan yang tak mempunyai jawaban.

Aku jadi inget pernah nonton film kartun "Looney Toon" (bener gak sih nulisnya inih?). Waktu itu bagian di mana si Plucky, bebek hitam kecil itu ditimpa kesialan dan kemanapun dia pergi selalu tertimpa barang-barang berat mulai dari alas pukul pandai besi, sampai kapal pesiar. Bayangin, bebek kecil ketimpa kapal pesiar dari langit. (Ah, namanya juga kartun). Anyway, sampai pada suatu adegan di mana dia mulai tiba jenuh dan sampai di atas gedung dia menengadah ke langit dan berteriak sambil ngeluarin papan demo dengan tulisan “Why Me?..WHY??” . Dan mendadak awan menggumpal dan kilat-kilat kecil menyambar, lantas ada suara menggelegar menjawab: “WHY NOT?” . Dan lemas lah si Plucky Duck.

Iya, kepikiran tidak kalau DIA mungkin bergumam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan dua patah kata itu: “WHY NOT??”. Ya,… kenapa tidak?

Ketika pertanyaan “kenapa?”, yang mencoba mencari sebab dan penyebab dibelakang suatu peristiwa itu, tidak bisa membawa kita selangkah lebih maju bergerak dari posisi sekarang, dan bahkan membuat kita pusing kepala menuju gila, waktu pula lah yang akan menjadi teman kita, yang akan membantu kita menemukan pola jawabannya. Kalaupun belum juga tertemukan, rasa penasaran akan jawaban itu akan menghilang. Seakan tak penting dan mendudukkan kembali kita pada kesadaran bahwa yang terpenting itu bagaimana kita ber-reaksi terhadap itu. Apa yang harus dilakukan saat pasca? Apa yang bisa didapat dari sebuah peristiwa? Aku mau apa sekaran ini? Lantas itu tak berhenti begitu saja, namun harus ada sebuah reaksi.

Dan kita harus setuju menyimpulkan bahwa masalah penting yang dihadapi oleh orang percaya yang sedang dalam penderitaan bukanlah, “Apakah Tuhan bertanggung jawab akan penderitaan?”, melainkan “Bagaimana reaksi saya atas penderitaan yang sedang/telah menimpa diri saya ini? ,

Sebuah reaksi yang mengandung unsur laku dan sikap, action and attitude, yang kalau aku coba rangkum mungkin ada di sepotong ayat berikut ini.
And now abide faith, hope, love; these three things; and the greater of these is love. (I Corinthians 13:13)

Faith:
Sepotong iman yang percaya kalau DIA beserta kita kapanpun juga di saat apapun itu. Iman yang percaya kalau DIA memberikan kekuatan selalu dan juga percaya karena DIA tak pernah membiarkan kita dalam pencobaan yang melebihi kekuatan kita. Iman yang percaya karena DIA sangat fair, karena DIA pun pernah merasakan segala kepedihan yang paling menyakitkan ketika DIA menjadi manusia. Ya, dia sendiri pernah punya pengalaman yang pernah melalui saat-saat terkelam (the darkest hour) dalam masa terakhir hidupnya sebagai manusia.

Hope:
Pengharapan yang membakar mesin jiwa manusia untuk terus berkehidupan. Pengharapan akan yang terbaik yang telah DIA rencanakan. Pengharapan akan pelajaran dan pengetahuan dan kebijakan yang lebih lagi melalui penderitaan. Pengharapan yang melawan ketakutan dan ketidakberdayaan. Pengharapan yang berpikir positif akan segala masa depan dengan keyakinan bahwa rencana DIA selalu indah adanya.

Love:
Hati yang mengasihi adalah yang dibutuhkan orang yang menderita. Hati yang mengasihi, yang berdiam diri mencoba memahami arti penderitaan, dan menghargainya. Hati yang mengasihi yang berbagi rasa sakit yang sama. Hati yang mengasihi yang mengalirkan kasihNya ke orang lain. Hati yang mengasihi yang begitu intense dan terik, sehingga menghanguskan rasa sakit dalam dirinya sendiri, akhirnya melupakannya dan memampukannya untuk memberi dan berbagi dengan orang lain.

Dan benar, yang terbesar dari ketiga itu adalah KASIH.

Labels: ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 11:01 AM | |

<<< === === >>>


perjalanan di perbatasan tahun

Posted on Wednesday, January 05, 2005

23 Desember 2004
Mendarat di Polonia, dengan seonggok cemas di pundak, akan sebuah hangatnya penerimaan. Kecemasan yang kemudian terbukti tak beralasan.

24 Desember 2004
Berdiam menunggu malam natal di sebuah gereja batak karo protestan disamping sebuah kuburan. Mencari dunianya sendiri sembari memungut beberapa patah kata bahasa karo yang dengan sok taunya kucoba mengerti. Ah,nikmatnya sama kok. Lebih bahkan.

25 Desember 2004
Berbagi kasih, dan berbagi haru dan tangis sukacita, berbagi tanda ikatan cinta, berbagi catatan: "kamu lah berkat terindah di natal tahun ini" . Lebih lagi berbagi kasihNya yang pernah hadir di muka bumi ini untuk kita. Mari, ikatkan tali kasihNya di pinggang kita. Satukan kita. SELAMAT NATAL yaa.....
Udah dapet kado natalnya? DIA sendiri yang jadi kado untuk kita.
Kado yang tak ternilai.... sebuah keselamatan di ujung akhir yang fana.

26 Desember 2004
Pagi berleha-leha, seakan terlena dengan kejutan sebuah goyangan gempa. Terasa kerasnya yang sementara jadi bahan cerita untuk kemudian jadi tangis se-dunia. Sempat menikmati babi panggang saat makan siang dan belanja di makro untuk acara esok menjelang. Ketika itu pula berita sampai di telinga. Bencana gempa sudah jadi seperti rekonstruksi kecil kiamat.
Merinding jadinya.

27 Desember 2004
Melewati pematang Siantar, kampungnya temanku,Apor, dan sempat mencicipi Roti Ganda-nya, kita menuju ke danau Toba, dan menginap di Tuk Tuk, sebuah semananjung kecil di pulau Samosir.
Melihat air danau dari ketinggian balkon membuat hati berdilema, begitu baik dan indahnya ciptaan DIA, tapi kenapa DIA seolah berdiam diri dalam derunya sebuah bencana.

28 Desember 2004
Selepas matahari pagi yang sudah meninggi, setelah merasakan riak tsunami kecil di pesisir samosir, menyusuri pegunungan sekitar danau toba dan melihat dari ketinggian,pulau samosir yang lambat laun menghilang ditutup kabut, seraya kita menuju Kabanjahe via sebuah daerah pegunungan bernama Tele. Tiba di Kabanjahe sampai dan pasang kayu bakar di perapian di dalam sebuah rumah yang sedikit dingin lama tak dikunjungi. Hangatnya api perapian terasa dari ujung kaki sampai ke mata hati.

29 Desember 2004
Mengunjungi sebuah kuburan keluarga di Seberaya, sebuah kampung kecil tak jauh dari Kabanjahe. Bersihkan sedikit dan pasang bunga-bunga cantik sekadarnya. Tak lupa pula kunjungi sebuah kebun penuh dengan pohon jeruk namun sedikit buahnya yang masak, namun sekarung goni jeruk itu jelas lebih dari cukup untuk dibawa pulang. Sampai di rumah langsung istirahat. Terimakasih untuk DIA yang jaga selama perjalanan. Untuk DIA juga yang kuyakin tetap berjaga di ujung pulau sumatra sana (terlepas dari banyak orang yang menanyakan keberadaan dan kebaikan DIA dalam sebuah bencana)

30 Desember 2004
Bangun pagi, bangun dari nyenyaknya tidur. Enaknya. Sementara beberapa ratus kilometer di utara medan sana, ratusan ribu orang tak bisa tidur, karena nyamuk malaria, karena sebuah trauma, dan karena rasa kehilangan yang menyayat dada.
Bangun pagi dan bercengkerama dengan adik-adik tercinta.
Seorang teman datang berkunjung. Saoer. Membawa kami sedikit tamasya(?) hehehe. Nikmati potongan-potongan buah dan bumbu rujak serta es campur dan es kacang ijo, di sebuah pojokan mall. Dilanjutkan dengan secangkir kopi di sebuah warung kopi franchise terkenal di dunia, di sebuah plaza yang baru jadi di Medan, yang hampir tak tahan gempa dengan retak-retak yang jadi jejaknya.
Bercanda sambil menunggu teman satu lagi, Baringin. Baringin Hot Bonar nama lengkapnya. Gambaran seorang Bapak dua anak terpancar di mukanya dan perutnay yang sedikit menggemuk. Huehehehe. Berbagi cerita soal teman-teman lainnya sekampus dulu, dan keheranannya melihat aku ada di kotanya untuk sebuah tujuan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. "Kau pasti memang udah punya rencana itu ya? Berani juga kau yah... sendirian dari tanah jawa ke sumatera. Salut lah", katanya.
Kupikir, apa yang harus disalutin? Berani apanya? Apa aku semestinya merasa takut? Ah, biasa ajah,..... (You see? Pengingkaran diri. Takut itu ada pasti.)
Dan tak lupa bertukar cerita soal gempa. Ah, gempa dan gempa.
Anyway, terimakasih, Saoer, Ngin.

31 Desember 2004
Menuju penutupan Tahun. Tak ada terompet-terompet disepanjang jalan. Hanya beberapa anak-anak kecil bermain kembang api.
Sementara di pinggiran kota medan, Pencawan, kita menutup tahun dengan sebuah kebaktian. Kebaktian tengah malam penuh ucap syukur walau kantuk tak tertahankan. Senyap namun kembali rasa syukur menyelinap.

1 Januari 2005
Selamat Tahun Baru, orang tuaku, saudaraku dan kekasihku. Selamat Tahun baru, sahabat-sahabatku.
Lupakan yang lama yang menyusahkan hati, tapi ingat selalu yang bikin kita senyum di masa setahun lalu, ingat juga hal baru di depan yang bikin kita semangat menyongsongnya.
Siang yang sedikit hujan warnai kunjungan ke sebuah daerah namanya Sibolangit. Entah apa artinya itu. Mampir sebentar menaruh bunga-bunga di sebuah makam keluarga, dan selanjutnya makan bersama di sebuah rumah panggung sederhana, rumah keluarga. Sibolangit. Nama daerah yang lucu yah.

2 Januari 2005
Kembali ke Kabanjahe. Ada pertemuan keluarga rupanya. Ini yang diceritakan Baringin, berani-beraninya datang ke pertemuan keluarga ini. Secara teknis peraturan adat. Aku sudah mengabaikan adat. Hanya kebesaran hati keluarga mereka lah maka aku bisa berdiri di deretan sebelah kiri, walaupun hanya untuk berdiam diri, sementara mereka sibuk berlomba tukar beberapa banyak patah kata. Akhirnya berlalu juga.

3 January 2005
Bersiap kembali ke tanah jawa. Konfirmasi Garuda, pesawat berganti dari jam 10 menjadi jam 16. Tidak masalah kurasa. Bisa dimengerti. Polonia pastinya mendadak jadi seperti terminal Baranang Siang Bogor.
Siap kembali membawa bekal kehangatan cinta. Pula kehangatan sebuah keluarga. Kecemasan tak beralasan sirna sudah.
Sebuah akhir perjalanan untuk awal sebuah komitmen, kesungguhan, kerja keras, dan kepasrahan dalam DIA yang Maha Merencanakan.
Temukan kepahaman akan cinta yang tak sekedar fenomena entropi perasaan yang susah terbaca polanya, namun dia sebuah keseimbangan antara hasrat untuk bercinta dan kegigihan untuk mencinta. Cinta ituh selain dirasakan, tapi diusahakan. Karena cinta itu bukan tujuan. Lebih dari itu. Cinta itulah yang membawa kita ke tujuan dengan beban terasa lebih ringan.
Dibekali sebuah pesan. Keseriusan. Penantian. Rencana. Kerja keras. Doa. Dan DIA kan beri jalan.

4 Januari 2005
Tiket telah di-reconfirm. Jam 16.10. Tapi pasti delayed. Terbayang Polonia akan seperti pasar.
Jam 7 pagi terbangun dan sudah diminta oleh adik-adik tercinta untuk berenang. Masih ada waktu tersisa sebelum terbang ke jakarta. Satu jam lebih kami sempatkan bermain air dan perosotan air di sebuah kolam renang dekat rumah. Menyenangkan.
Oleh-oleh. Sebuah standard baku untuk setiap perjalanan ke luar kota. Bika ambon dan sirup marquisa untuk kantor dan keluarga. Itu saja.
Sore bersiap ke bandara. Jam 15.15 tiba dan seperti yang diduga Polonia sudah seperti terminal bis antarkota. Banyak orang berseliweran di depan loket-loket tiket. Mencari tiket tersisa rupanya. Antrian yang tak panjang depan check-in counter dikarenakan memang tak banyak penerbangan sipil reguler yang terbang. Memasuki boarding gate, memang ternyata banyak penumpang menunggu kepastian pesawatnya terbang. Sambil menunggu, kulihat beberapa helikopter (yang ternyata baru kuketahui kemudian, helikopter Chinook, bantuan singapore) berangkat dan datang. Juga beberapa pesawat hercules terlihat menunggu jadwal terbangnya atau mungkin menunggu muatannya.
Terlihat di pojokan area parkir pesawat, Airbus 330 Garuda, pesawat yang akan kita tumpangi menunggu ijin terbangnya. Dua jam tak terasa melihat hirukpikuknya ruang tunggu pesawat, sampai akhirnya kita naik, masuk ke pesawat. Satu jam lebih lagi menunggu di pesawat, sampai pada akhirnya diijinkan terbang. Perasaan lega tapi tak ada sepatah kata, membayangkan mereka yang masih terkatung menunggu pesawat berikutnya. Beberapa pengungsi yang tiba dan terlihat nanar. Beberapa relawan berharap cemas mendapat tempat di pesawat berikutnya ke Aceh. Beberapa orang yang lelah di bandara melayani orang-orang itu semua. Tuhan memberkati mereka.
20.30, Jakarta, sampai juga. Gelap dan rintik.
Biarlah kurasakan dulu, semua suka, semua dukacita, semua haru, semua gagu, semua ketenangan, semua kehangatan, semua cinta dan semua-muanya, kenangan dari Medan di perbatasan tahun.

Labels: ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 6:39 PM | |

<<< === === >>>