:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

ARSIP AKBAR
KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




Sebuah Perjuangan di Kobe

Posted on Monday, July 11, 2005

Di permulaan bulan Juli ini, akhirnya aku dapat kesempatan mengintip negeri sakura dari jendela salah satu kota di Jepang, Kobe. Tahun ini Kobe mendapat kehormatan menjadi host dari para pemerhati dan aktivis yang berkecimpung di dunia AIDS, se-asia pasifik. Sebuah Congress untuk HIV/AIDS se-Asia dan Pasifik dilaksanakan sebagai bagian ritual dua tahunan (menyelingi Intenational Aids Conference yang juga dua tahunan sekali) bagi para pejuang-pejuang kemerdekaan dan hak-hak para penderita AIDS dan pemerhatinya. 7th ICAAP, 1-5 July 2005, Kobe, Japan.


About Japan and Kobe

Kata bosku yang udah berkali-kali ke jepang, semua kota di jepang itu mirip-mirip. Nyaris homogen. Yang membedakannya mungkin tingkat aktivitas ekonomi dan penduduknya nya ajah yang berbeda menurut besaran kotanya.

Kobe sendiri adalah sebuah kota yang tidak besar. Terletak di Kansai perfecture, kota ini bergabung dengan kota Osaka dan Kyoto. Sayang sekali, tak ada waktu untuk ngubek-ngubek di dua kota lainnya itu. Kota pelabuhan yang pernah sangat sibuk, tapi sekarang sedikit adem-ayem. Seperti Rotterdam, tapi tidak sibuk dan punya teluk yang cantik. Kalau melihat petanya seperti high sophisticated half-floating city. Kalau di palembang dan di kalimantan, ada kota terapungnya yang sederhana. Tapi ini Kobe, far, far awy more advanced.

Ada dua airport untuk 3 kota ini, Osaka International Airport dan Kansai International Airport. Yang pertama terletak di belahan utara kawasan itu dan yang kedua terletak di sebuah pulau (buatan) di ujung teluk di belahan selatan.
Kansai International Airport terlihat biasa saja, lebih bagus Kuala Lumpur malah menurutku. Tapi perjalanan satu jam lebih lima belas menit dari airport ke Kobe center area cukup menyenangkan. Menyusuri pesisirnya dengan melintasi jalan-jalan flyover dan jembatan2-nya yang bertumpuk-tumpuk, seakan seperti meluncur diatas permukaan air.
Terlihat bagaimana Jepang sangat memperhatikan pentingnya transportasi untuk memberikan kemudahan akses orang ke berbagai tempat. Transportasi disadari mereka penting untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi wilayah.
Dan dengan kemajuan teknologi (terutama civil engineeringnya) dan juga duit yang banyak, Jepang dapat dengan mudah membangun jalan-jalan flyover bertingkat, sampai 2-3 tingkat yang masing-masing tingkat melayani arus satu arah, dan juga berdampingan dengan jaringan rel kreta dan skytrain yang rumit dan saling menumpuk dan menyilang-nyilang, mencoba meminimalkan konflik/pertemuan arus lalulintas, sehingga sedikit persimpangan besar. Ditambah pula dengan privatisasi yang seluas-luasnya untuk transportasi ini, sehingga setiap jengkal area menjadi bisnis jangkauan pelayanan transportasi. Tak heran di setiap stasiun besar akan menjumpai jaringan bus, skytrain, dan kereta yang masing2 bisa berbeda perusahaan operatornya.
Gak kebayang bagaimana merancangnya. Bener well planned mestinya, karena kalau salah bangun dan bentrok dengan jaringan lainnya masak sih harus bongkar-bongkar. Gak kayak di Indonesia, bangun jaringan di bawah tanah ajah suka bongkar pasang seenaknya kadang gak ada koordinasi antara PAM, PLN, TELKOM dan PU nya…
Jadi kalow di Jakarta, bisa ajah bulan ini udah beres galian PAM, bulan depan bongkar lagi untuk galian TELKOM. Tapi wajarlah.
Tapi di Jepang inih jadinya ruang udaranya jadi kelihatan padat dan rame. Dan pemandangan mata seakan sering terantuk beton-beton struktur jalan, rel dan jembatan. Dan kurang ada desain yang bikin adem mata. Walaupun ada beberapa daerah hijau, tetap ajah kurang. Mungkin benar kata Prof ku dulu waktu kuliah, Jepang memang nomor satu dalam teknologi civil engineering ini, dengan bangunan, jembatan, dan jalan dan rel yang bertebaran di mana2. Tapi unsur estetika dan urban environment (phsycologically dan physically) masih terabaikan.


About the Congress

Baru kali ini aku terlibat sebuah acara yang menyangkut AIDS apalagi dihadiri oleh berbagai macam orang dan organisas/institusi dari berbagai belahan dunia dari asia dan pasifik untuk ngurusin HIV/AIDS ini. Menarik memang. Sungguh menarik. Melihat berbagai macam orang dari berbagai golongan dan latar belakang, regardless warna kulitnya, tingkat pendidikannya, agamanya, profesinya, gendernya dan sexual orientasinya dan lain-lainnya lagi. Mulai dari dokter yang akademis, sampai sexual worker yang biologis. Mulai dari biksu sampai yang tak kenal tuhan. Mulai dari organisasi perempuan sampai organisasi para transgender/transexual. Semuanya kelihatan bersatu untuk menaruh commitment bersama memerangi HIV/AIDS, atau lebih tepatnya memerangi merajalelanya HIV/AIDS di belahan asia pasifik, yang sudah mulai kencang seperti hendak membalap kawasan Afrika yang telah lebih dulu di depan dalam masalah HIV/AIDS ini. Tak mau ketinggalan, Jackie Chan, sebagai goodwill ambasador to UNAIDS juga secara virtual menyemangati mereka ini. "In the movie I fight against the bad guys, but we are here to fight AIDS. Yes ,we can do it." Begitu katanya.

Acara ini membuka mataku lumayan lebar tentang beberapa hal. Masalah HIV/AIDS ini memang gak main-main di Asia, karena kita mungkin terlalu meremehkannya. Disangkanya ini cuman masalah kecil aja di Asia dan gak bakal seperti di Afrika, padahal jelas salah. Disangkanya culture ketimuran Asia akan menghambat penyebaran HIV/AIDS di Asia, tapi kultur yang mana.
Kemudian aku juga makin mengerti bagaimana susahnya jadi seorang penderita HIV/AIDS. Kebetulan di exhition ada beberapa publikasi dan salahsatunya ada handbook buat People Living with HIV/AIDS (kita singkat ajah jadi PLWHA) . Bagaimana mereka harus mengubah gaya hidupnya, harus benar-benar extra careful dengan kesehatannya juga orang lain. Juga harus disiplin minum obat dan gak terlalu capek dan gak boleh jorok. Karena semua itu bias memperpanjang hidupnya dan kalow tidak disiplin, bisa fatal akibatnya.
Penderitaan fisik yang dialami PLWHA ini juga diperparah oleh stigmatisasi dan diskriminasi yang ada di masyarakat kepada mereka. Di acara pembukaan, seorang representative dari sebuah forum network PLWHA ini membawakan sebuah remarks yang menyentuh. Dia kebetulan orang Indonesia, dan bercerita kalau seminggu sebelumnya dia ditolak oleh Dentist-nya karena dia mengaku sebagai penderita HIV+, dan temannya juga ditolak di rumah sakit untuk operasi kakinya yang patah karena kecelakaan, itu juga karena dia men-disclose HIV statusnya.
Aku sedikit terbuka mataku, tapi tetap aku gak bisa membayangkan penderitaan mereka…..

Dan sepanjang 5 hari congress itu, sering bergumul pikiranku. Sebagian dari diriku mencoba mengerti keadaan mereka dan mencoba memahami penderitaan dan stigmasi dan diskriminasi yang mereka terima. Tapi sebagian diriku juga seperti mengatakan ada yang aneh karena menurut aku HIV/AIDS ini adalah sebuah penyaakit istimewa yang timbul dari sebuah konsekuensi atau resiko dari suatu perilaku yang sebenarnya menyimpang. Perilaku yang beresiko itu lah yang harus dipertanyakan kenapa dipilih oleh mereka.
Simpatiku malah timbul lebih kepada mereka yang karena pasangannya tidak loyal dan punya sexual behaviour yang risky, jadinya tertular, dan itu bukan kesalahan yang tertular itu. Dan lebih menyayat hati lagi jika ada bayi yang harus terlahirkan dengan HIV+ karena ibunya sudah positive.

Issue dalam HIV/AIDS sebenarnya tidak ada lagih selain scaling-up the prevention and treatment. Memperluas jangkauan upaya pencegahan dan perawatan. Selama obat penyembuhnya belum ada, pencegahanlah yang terutama. Kita semua udah tahu semua bagaimana pencegahan, dan bagaimana melakukan treatment bagi penderita. Teknologi pengobatan terus maju walaupun mentok-mentok juga akhirnya ke bagaimana mendapatkan penyembuhnya. Dan komitment sudah bertebaran dan berlumutan, tinggal menunggu implemntasi dan memperlluas jangkauan ajah. 3 juta penderita harus mendapat access to treatment by 2005 ini, begitu target WHO. Dan upaya kampanye harus diperluas ke segala pelosok dunia ini.

Ada lagi issue gender. Yang parah di India. Di sana, banyak wanita yang sudah kena HIV+ dan belum married dipaksa oleh keluarganya untuk tetap married, karena sebuah keaiban besar kalau seorang perempuan itu belum married. Tapi kadang juga sang wanita itu tertular dari suami juga. Dan ketika wanita ketahuan status HIV nya, walaupun si suami juga kena, tapi sang wanita lah yang harus step out from the house. Jadinya, jarang sekali wanita di India yang positif HIV men-disclose statusnya. Mereka takut tersingkirkan dari rumah. Kemudian, sang wanita harus pula melahirkan keturunan, karena desakan keluarga2nya. Jadilah banyak bayi yang lahir dengan positive HIV, tanpa tahu apa-apa.

Lain lagi dengan kelompok berresiko lainnya, seperti Sexual Workers (SWs, Injecting Drug Users (IDUs) dan Men having Sex with Men (MSM). Mereka yang benar-benar beresiko ini tak ada cara lain selain mengubah perilaku mereka. Tapi ngomong sih gampang yah.

Maksudku begini, kadang memang kita harus dituntut untuk memahami penderitaan mereka oleh karena stigmatisasi dan diskriminasi itu. Dan memang tidak seharusnya seorang dentist menolak pasiennya karena sebenarnya alat2nya bisa disterilkan kembali setelah penggunaan. Atau dokter sudah harus tahu bagaimana melakukan operasi untuk PLWHA tanpa harus diusir keluar. Tapi stigmatisasi dan diskriminasi itu akan tetap ada selama orang melihat bahwa PLWHA ini mendapat penyakit itu karena pilihan resiko yang dia pilih.

Aku hanya gerah dengan PLWHA yang terlalu banyak menuntut hak ini dan hak itu, dan teriak mengecam sana dan mengecam sini, mengumbar kepahitan di sana-sini tanpa mereka sendiri mengambil peran yang seharusnya besar untuk mengurangi penyebaran epidemic HIV/AIDS ini. Seperti anak-anak.

Aku lebih-lebih gerah lagi ketika kelompok SWs, IDUs dan MSM dengan gigihnya berusaha memperjuangkan hak2nya. Padahal mereka lah yang harusnya menyadari ahwa kewajiban mereka harus lebih besar lagi untuk tidak main2 dengan masalah perilaku yang beresiko itu.

Aku lebih suka PLWHA yang dewasa, mengambil peran yangbesar, untuk turut campaign utk tidak memperparah penyebaran HIV/AIDS. Mereka tidak hanya menuntut better health treatment atau perlakuan yang adil dan nyaman, tapi juga memahami bahwa gak ada gunanya menyalahkan siapa-siapa atas segala perlakuan dan treatment yang mreka terima.

Aku juga sempat ngobrol ama orang Malaysia, yang ternyata begitu gemas dengan orang-orang yang gak sadar bahwa karena perilaku-perilaku yang beresiko itulah maka HIV/AIDS ini menyebar dengan cepatnya. Jangan lantas menikmati kesenangan perilaku itu untuk kemudian ketika kena malah larinya ke orang lain atau pemerintah. Beliau bilang, kalau ada suatu daerah kedatangan seorang PLWHA, sangat wajar kalau orang di situ khawatir dan berusaha menolak mereka, karena mereka sendiri merasa resiko penyebaran penyakit makin besar jika ada PLWHA di daerah mereka.

Aneh yah,……..
Kelihatannya acara ini jadi seperti sebuah hura-hura, tempat kampanye kepentingan masing-masing kelompok. Donor agencies ingin menunjukkan bahwa mereka sudah memberikan banyak perhatian ke masalah ini. NGOs ingin menunjukkan hal yang sama. Pemerintah apalagi. PLWHA juga memanfaatkan acara ini utk kampanye hak-haknya. Apalagi kelompok sex worker dan gay n lesbian itu, dengan semangat dan gencarnya menuntut hak mereka.

Dan pada hari ke-enam , ketemu seorang dokter dari Indonesia yang bilang, kita harus waspada, untuk Indonesia, emerging infectious diseases yang mengancam ituh bukan avian flu atau SARS tapi AIDS, akibat dari banyaknya pengguna drugs pake jarum suntik, dan tanda-tandanya sudah ada kok, makin banyak laporan kasus anak muda terkena TBC, yang dicurigai terkena HIV+ karena masih sangat muda kok kena TBC.

Dan pada hari ke-enam itu pula, ketika pulang sambil membawa sekantong penuh sampel2 kondom berwarna-warni dan berbagai jenis (ada yang untuk wanita dan ada yang untuk MSM) yang kudapat dari booth2 NGOs yang kampanye di tempat pameran, ... aku meringis aja dalam hati. Bisakah mereka bersatu bejuang untuk hal yang sama, yaitu supaya AIDS ini gak merajalela. Bisakah, kalau ternyata mereka masih berjuang sendiri-sendiri dan masih ada semangat untuk menyalahkan. Jelas kita masih kalah bertarung. Butuh berapa ronde lagi yah, atau menunggu Congress yang ke-seratus sekian barangkali. Hmmmm…


Entah lah……..
Hanya DIA yang tahu.

Labels: , , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 9:57 AM | |

<<< === === >>>