:::::: Ujung Jariku ::::::


HOME

UjungJariku

PROFIL PENGGORES

B. Dwiagus S.
Peziarah penasaran.
Pengembara di jalan kehidupan.
Plegmatis bermimpi jadi pemimpin.
Pragmatis pengejar solusi dingin.
Perenung aneh yang pendiam dan sederhana.
Pengumbar cinta untuk: Klaudia dan Lentera.

Mama Lentera Lentera

TEMA & TOPIK


TULISAN TERBARU

Tilik Tetangga



jejaring

KomunitasReferensi BloggerFamily
IKANED IAP
ASEAN Secretariat GTZ
MediaCare
Bike-to-Work Indo-MONEV

ARSIP AKBAR
KOLOM KAMPANYE

Ultah-Bike-to-Work



FEED FOR FUN

UjungJariKu

↑ Grab this Headline Animator



TUMPANG TENAR

Profil Facebook de Benedictus Dwiagus Stepantoro



ATRIBUT APRESIASI

Weblog Commenting and Trackback by HaloScan.com

Blogger

Get Firefox!

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 2.5 License.
Desain dasar dari: Blogskins
Image: PGP!
Brushes: Rebel-heart
Designer: Ebullient*




Tukul vs Dorce

Posted on Friday, February 23, 2007

Saya termasuk penggemar TUKUL dan acara talk show-nya, EMPAT MATA. Kalau lagi gak capek berat, atau nggak ngantuk berat, pasti selalu ngeliat jam dinding. Kalau jarum jam sedang menunjukkan antara jam 10-11, pasti channel TV udah saya ubah mencari acara empat mata.

Soalnya menghibur sekali sih. Paling enak melihat orang yang begitu mudah menertawakan dirinya sendiri. Seperti melihat mahluk langka yang keliatannya naif, tapi tulus. Yang keliatannya ngocol, tapi begitu kaya dengan hidup, sehingga mampu ketwa dan ditertawai orang lain. Jarang kan orang mau ditertawai dengan tulus. Memang banyak pelawak-pelawak yang menjual ketawa dan begitu rela untuk diketawai. Tapi buat saya, cuman seorang Tukul lah yang ketulusannya begitu memancar berkarisma. Huahahaha

Dan kemaren, hari Rabu, 21 Februari 2007, adalah episode spesial, episode ke-100 dari empat mata. Dan kebetulan saya menontonnya. Ketawa-ketawa mengalir dengan lancar, bersama Slank, Indy Barens, Indra Bekti, Luna Maya dan tentu saja Dorce. Sampai menjelang penghujung acara, tiba ada pertanyaan ke luar dari Laptop istimewa Tukul, untuk Dorce. Pertanyaannya adalah kira-kira seperti ini: "Bu Dor, kan terkenal punya banyak anak asuh. Apa karena gak bisa punya anak ya?". Tiba-tiba Dorce merengut, bangkit dari tempat duduknya, terus mengambil sebuah mainan di meja, dan melemparnya ke Tukul. "Sebel", katanya. "Pertanyaan kamu kok kampungan sih?"
Dorce lantas berjalan meninggalkan ruangan entah ke mana. Tukul pun terlihat panik, dan mencoba membujuk, tapi tak bisa. Dan layar tivi pun diisi dengan iklan.

Saya juga kaget. Kok bisa gini. Yang bodoh siapa nih. Emang sih Tukul keliatannya bodoh amat, kok gak sensitif baca pertanyaannya. Atau gak cepat merubah topik dengan cepat kek, atau gemanah. Tapi saya sebenarnya kasihan juga. Kasihan Tukul, apa emang harus berakhir seperti ini, nama baiknya. Jadinya, saya gak cukup tega untuk melihat lanjutan episode itu di akhir acara. Iyah, beneran loh saya gak begitu tega. Dan saya pun masuk kamar. Dan berangkat tidur sambil sedikit membawa banyak pertanyaan. Ah, biarlah, palingan ada beritanya besok di milis. Mudah-mudahan blunder Tukul ini gak menyeret Tukul ke sesuatu yang buruk.

Dan ternyata memang dibahas seru di sebuah milis. Memang menunjukan Tukul benar-benar fenomenal. Saya baru tahu ternyata, di akhir acara, entah bagaimana, Dorce kembali ke pentas dan mencairkan suasana dengan bilang: "Jangankan punya anak, kawin pun siap!". Dan Dorce menghadiahkan karikatur Tukul sebagai kenang-kenangan. Padahal katanya Tukul sempat berlinangan mata ketika kamera kembali berputar setelah iklan.

Tapi yang mengejutkan saya, ternyata semua itu skenario dari tim kreatifnya EMPAT MATA, kerjasama dengan Dorce katanya. Sialan.

Sukses terus lah, Mas Tukul. Pancen ojo lali yo. huehehehehe

*Tayangan Episode Spesial ini ada di YouTube: di SINI

Labels:

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 11:28 AM | |

<<< === === >>>


pemda, pasar dan masyarakat

Posted on Tuesday, February 20, 2007

Dari sebuah hotel sederhana di ujung kawasan Bukit Bintang, Kuala Lumpur, menuju bandara KLIA, berdesak-desakkanlah saya bersama bos saya, beserta seorang pejabat dari Singapore, dan seorang pejabat lagi dari Viet Nam, di dalam sebuah mobil agak mewah yang mentransfer kami dari hotel ke bandara. Percakapan pun kesana kemari sampai tiba pada topik banjir besar di Jakarta yang sebenarnya agak memalukan buat saya, karena dulu kota Jakarta yang sangat dibangga-banggakan oleh para negara tetangga di asia karena kemegahannya setara dengan kota-kota di seberang samudera pasifik sana, tapi sekarang seolah tak berdaya seperti seroang lansia yang bahkan tak mampu mandi dan sikat gigi. Yah, Jakarta seolah seperti lorong kumuh di asia tenggara yang tersembunyi diapit kawasan mewah bernama australia dan malaysia serta singapura. Sang sopir dengan lancar membanggakan hebatnya malaysia dan singapura dengan segala sistem transportasinya dan infrastrukturnya yang menjamin kenyamanan para warganya. Tak seperti di Jakarta yang begitu sibuk memikirkan bangunan, bangunan, bangunan, yang mencakar-cakar langit dan pada akhirnya lupa, mereka butuh sistem transportasi yang handal dan sistem drainase yang mantap.

Itu semua karena banjir. Fenomena alam katanya, yang terulang skenarionya setiap enam atau lima tahun (atau empat tahun pada pengulangan berikutnya, jadi waspadalah).

Ada benarnya kata sang sopir. Ibaratnya ketika kita ingin membentuk patung manusia, kita lupa bikin kerangkanya. Bisakah kita membayangkan seorang manusia tanpa kerangka. Dan ketika baru keinget untuk bikin tulang kerangka, maka dibikinlah kerangka ulang itu, dan dimasukkan secara paksa ke dalam tumpukan daging-daging yang sudah terbentuk. Tapi ya begitulah, Jakarta begitu sibuk membentuk dan membiarkan daging-daging terus bertumbuh sehingga lupa membangun dan membentuk tulang kerangka yang sehat. Jadinya Jakarta seperti ABG yang obesitasnya tinggi, tak mampu bergerak dan menjadi sarang penyakit.

Infrastruktur kota adalah tulang kerangka bagi kota, yang sangat menentukan bentuk dan wajah kota. Tapi kadang kita menyempitkan arti infrastruktur kota sebatas: jalan-jalan dan gedung gedung saja. Pada akhirnya infrastruktur yang terlalu berorientasi pada jalan mendorong kita pada sistem transportasi yang tidak efisien, dengan jalan-jalan yang penuh kendaraan karena kemudahan pembelian kendaraan dan subsidi bahan bakar. Akhirnya tak pernah terlintas pikiran untuk membuat sistem transportasi yang handal, apalagi sistem drainase yang mantap.

Dulu sering ada proyek-proyek urban infrastructure development, tapi sifatnya yang tidak menyeluruh dan tidak sistematik, jadinya cuma sekedar kosmetika perkotaan yang begitu mudah larut ketika tercuci air banjir. Yang diutak-atik hanya jalan dan jalan, dan juga bangunan-bangunan perumahan. Lupa ada komponen lain yang namanya drainase, jaringan transportasi rel atau subway, jalur hijau dll.

Mungkin memang harus ada banjir-banjir dahsyat yang harus membangunkan mereka yang punya kuasa bahwa sudah sepatutnya segera memulai perencanaan perkotaan yang peka terhadap daerah aliran sungai, daerah terbuka hijau, dan siklus aliran air. Istilahnya water sensitive urban design, seperti yang dilakukan di Australia, begitu kata salah satu pengajar UGM, pemerhati urban design.

Sama seperti Belanda, yang harus mengalami banjir besar di daerah selatan (Zuid-Holland) di tahun 1953 yang memakan banyak korban dan kerugian, sehingga keluarlah Delta Project. Mungkin Jakarta memang harus tenggelam dulu untuk berakrab-ria dengan air.

"Negara hilang. Banjir terbilang". Begitu kata Goenawan Muhammad (GM) di catatan pinggirnya di majalah Tempo minggu lalu. Kegemasan yang dirasakan semua ketika sebuah insitusi bernama Negara, dalam hal ini Pemda, seperti hilang lenyap, seperti makhluk halus atau makhluk takhyul, dalam situasi-situasi seperti ini. Kemana saja memang pemda bertahun-tahun ini.

Bahkan di komplek perumahan tempat tinggalku, ketika mengetahui kejadian banjir diakibatkan karena tak ada pengendalian dan pemeliharaan jalur selokan aliran air akibat bangunan liar di perkampungan sebelah, pemda tak bisa apa-apa sehingga memang harus masyarakat sendiri yang lebih proaktif.

Tapi tunggu dulu, pemda tak selamanya takhyul. Dia akan muncul ketika membereskan kaki lima, mengusir anak jalanan di perempatan jalan, menggusur permukiman liar di tanah negara dan tanah milik konglomerat celaka, mengatur perijinan mendirikan bangunan dan sertifikat tanah, serta pajak-pajaknya.

Tapi memang terlihat pemda sudah lumpuh, kalah oleh sebuah tangan tak kelihatan bernama pasar. Tak mampu membebaskan tanah untuk banjir kanal timur, tak mampu membereskan jalur hijau, tak mampu mengembalikan situ dan empang yang teruruk dan digusur pusat perbelanjaan dan apartemen, tak mampu memperbaiki aliran sungai utama dan gorong-gorong dan selokan-selokan yang melintas tengah kota.

Entah mengapa pemda jadi begitu mudah untuk disalahkan, walaupun sebenarnya tanpa pemda justru tambah lebih buruk. Toh, mungkin benar kata teman, Pemda itu cerminan masyarakatnya. Jadi bukan salah pemda seluruhnya. Dan mungkin memang harus tangan-tangan tak kelihatan bernama pasar dan tangan-tangan tak kelihatan bernama pemda, harus berhadapan dengan tangan-tangan terkepal mereka yang gemas, marah, dan tak sabar (meminjam istilah GM).

Labels: , , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 11:59 AM | |

<<< === === >>>


BANJIR

Posted on Sunday, February 04, 2007

Dulu 2002, saya menyaksikan di CNN dan Internet, berita kebanjiran Jakarta. Salah satu korbannya adalah Soany temen satu sekolah,satu beasiswa, yang rumahnya ada di Kelapa Gading.

Kali ini 2-3 Februari 2007, di malam menjelang dini hari, rumah kami di Puri Flamboyan, Rempoa, yang baru saja ditempati selama 3 bulan lebih sedikit, terendam oleh banjir, yang menggenangi jalan sampai setinggi dada dan masuk ke dalam rumah setinggi perut. Dan di tengah malam buta kami, saya beserta istri dan anak saya Lentera yang berusia 3 bulan lebih sedikit, harus menerabas arus setinggi dada di jalanan untuk mengungsi di tetangga di blok perumahan yang lebih tinggi dan aman. Kami mengungsi ke rumah mbak Rieke, co-founder BLOGFAM (beruntung juga yah, masuk Blogfam dan berkenalan dengan salah satu pendiri Blogfam yang akhirnya menyelamatkan kami).

Besok sorenya baru surut air, walaupun masih setinggi pinggang di jalanan dan di dalam rumah sudah surut setinggi dengkul. Liat video:

Ini di dalam rumah. Sudah agak surut. Tapi masih setinggi dengkul. Liat kulkas yang terguling.


Ini di depan pintu gerbang Blok G Puri Flamboyan yang terendam sampai dada. Saat diambil videonya sudah surut sampai sepinggang.


Sekarang, tanggal 4, sudah surut sama sekali. Rupanya kejadian yang gak pernah terjadi ini dicurigai disebabkan oleh dijebolnya tanggul kali pembatas komplek Flamboyan dengan kampung sekitar. Penduduk Kampung Sawah itu menjebol tanggul karena terancam terendam sampai seleher. Kali yang ternyata dilalui air itu rupanya mengalami hambatan mengalir karena sudah berkelok-kelok akibat pembangunan rumah sembarangan oleh salah satu warga kampung mereka. Salah mereka sendiri sih, tapi apa bolehbuat. untung ada solusi sementara, aliran air dialihkan ke lahan kosong dan diarahkan ke kali di titik lainnya dengan menjebol tembok pembatas komplek. Ribet.

Besok kami sudah mau balik ke rumah . Sudah sedikit bersih-bersih.

Untungnya kiriman banjir dari Bogor tidak sampai ke daerah ini.
Turut prihatin untuk mereka yang mendiami daerah yang dilalui banjir kiriman dari Bogor hari ini.

Labels: , , ,

===>>> Digores oleh: dwiAgus di UjungJariku | @ 7:55 PM | |

<<< === === >>>